Senin, 24 Januari 2011

Budaya dan kesehatan

BAB I


PENDAHULUAN
1.1 Larat Belakang


Suatu hal yang tidak dapat di pungkiri dari Negara Indonesia adalah dengan keanekaragaman budayanya,dimasing masing bagaian daerah di indonesia memiliki budaya budaya yang berbeda, selain itu sistem norma yang berlakau di masyarakat pun berbeda pula.
Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Dan tak kalah pentingnya, secara sosial budaya dan politik masyarakat Indonesia mempunyai jalinan sejarah dinamika interaksi antar kebudayaan yang dirangkai sejak dulu. Interaksi antar kebudayaan dijalin tidak hanya meliputi antar kelompok sukubangsa yang berbeda, namun juga meliputi antar peradaban yang ada di dunia. Labuhnya kapal-kapal Portugis di Banten pada abad pertengahan misalnya telah membuka diri Indonesia pada lingkup pergaulan dunia internasional pada saat itu. Hubungan antar pedagang gujarat dan pesisir jawa juga memberikan arti yang penting dalam membangun interaksi antar peradaban yang ada di Indonesia. Singgungan-singgungan peradaban ini pada dasarnya telah membangun daya elasitas bangsa Indonesia dalam berinteraksi dengan perbedaan. Disisi yang lain bangsa Indonesia juga mampu menelisik dan mengembangkan budaya lokal ditengah-tengah singgungan antar peradaban itu.
Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup secara berdampingan, saling mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel. Misalnya kebudayaan kraton atau kerajaan yang berdiri sejalan secara paralel dengan kebudayaan berburu meramu kelompok masyarakat tertentu. Dalam konteks kekinian dapat kita temui bagaimana kebudayaan masyarakat urban dapat berjalan paralel dengan kebudayaan rural atau pedesaan, bahkan dengan kebudayaan berburu meramu yang hidup jauh terpencil. Hubungan-hubungan antar kebudayaan tersebut dapat berjalan terjalin dalam bingkai ”Bhinneka Tunggal Ika” , dimana bisa kita maknai bahwa konteks keanekaragamannya bukan hanya mengacu kepada keanekaragaman kelompok sukubangsa semata namun kepada konteks kebudayaan

Kami memilih judul ”Norma dan Nilai Budaya terhadap Kesehatan” karena kami ingin mengupas lebih lanjut tentang topik ini,mengingat berbagai keanekaragaman sosial kultural yang sangat majemuk di negara indonesia.
Makalah ini merefleksikan tentang suatu keadaan yang mana terjadi keanekaragaman social budaya, kami juga mengupas tentang penerapan norma norma dan nilai nilai budaya dalam penerapanya dalam kehidupan bermasyarakat di lingkungan sekitar.
Mengapa Sampai timbul keanekaragaman budaya dan norma? Sebuah pertanyaan yang begitu kita cermati sangat lah menarik.
Setelah kita menjelaskan tentang Nilai dan Norma, tentu akan timbul pertanyaan ”apa pengaruh nilai dan norma terhadap kesehatan?”
Disinilah kami akan memaparkan semuanya tentang nilai dan norma serta pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat.
Selain itu kami menulis makalah ini juga untuk mengembangkan intelektualitas kami dalam hal berfikir kritis dan menjeneralisasi terhadap suatu pokok masalah.
Kebutuhan lain ditulisnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuliah antropologi dan sosiologi keperawatan.


1.2 Rumusan Masalah

Sebua pertanyaan yang kita sering dengar adalah tentang nilai dan norma yang ada di tengah tengah mesyarakat, kita sering kali mendengar perkataan “Apa hubungan antara nilai dan norma budaya terhadap kesehatan?”
Itu sebenarnya adalah sebuah pertanyaan yang sangat logis, mengingat manusia moderen kini dituntut untuk berfikir secara rasional instrumental dan terarah, jadi segala sesuatu harus dapat dibuktikan secara ilmiah dan memiliki tingkat ke akurasian yang sangat tinggi.
Masyarakat moderen identik dengan pengemudi pada mobil, mereka dapat menemukan sebuah pemahaman pemahaman baru tentang dunia kesehatan. Banyak nya ahli kesehatan membuat budaya tradisional perlahan lahan mulai ditinggalkan.
Pokok pembahasan mkalah ini adalah tentang ”Apa dan Bagaimana Pengaruh nilai dan norma budaya terhadap kesehatan”
Selebihnya kami akan berusaha untuk memaparkan itu semua pada Bab II yang berisikan tentang Tinjauan pustaka dan bagaimana kami akan berusaha untuk menjelaskan apa isinya.
Sebuah pemahaman yang dapat kami jelaskan tentang pandangan dari berbagi sumber yang kemudian akan kami coba untuk mengembangkannya.


1.3 Tujuan

Makalah yang berjudulkan ”Norma dan Nilai Budaya Terhadap Kesehatan” kami buat untuk menjelaskan bagaimana hubungan antara nilai dan norma budaya terhadap kesehatan, yang mana topik ini kami pilih karena untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester ANTROPOS yang dibina oleh Ibu Esti Widani,Skep,Ns.
Topik ini sangatlah sesuai dengan bidang kesehatan, yang mana dalam sebuah bidang kesehatan pasti memiliki hubungan yang sangat erat dengan bidang sosio cultural.
Tentunya dalam makalah ini kami berusaha untuk menjelaskan beberapa aspek yang berkaitan dengan Budaya dan Kesehatan, sebuah topik yang menurut kami sangatlah menarik perhatian dan memicu hasrat kami untuk mengupasnya secara lebih lanjut.
Semoga makalah yang kami sajika dalam bentuk sederhana ini mampu menjadikan kami semua lebih mendalami tentang hubungan budaya dengan kesehatan.dan yang terpenting adalah manfaat mkalah ini bagi kami dalam memenuhi tugas makalah ANTROPOS.

1.4 Manfaat

Makalah yang kami sajikan semoga dapat menjadikan bahan referensi dalam pembuatan karya karya tulis lanjutan, yang mana dalam sebuah system perlulah pemahaman yang mendalam tentang sebuah topic.Kami berusaha menjelaskan dengan bahasa awam yang kami peroleh dari berbagai sumber.
Adapun penyusunan makalah ini kami buat dalam rangka memenuhi tugas akhir semester ganjil yang dilaksanakan di Universitas Tribhuana Tunggadewi Malang.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat menjadikan tambahan nilai tugas kami dalam Ujian Akhir Semester.
Sebuah kerja keras tentunya dalam penyusunan makalah ini, tentunya kami berharap semoga makalah ini dapat dijadikan pertimbangan tentang nilai mata kuliah Antropologi dan Sosiologi pada Ujian Akhir ini.






















BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1.1.Budaya

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" d Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.

Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain Dalam wacana kebudayaan dan sosial, sulit untuk mendefinisikan dan memberikan batasan terhadap budaya lokal atau kearifan lokal, mengingat ini akan terkait teks dan konteks, namun secara etimologi dan keilmuan, tampaknya para pakar sudah berupaya merumuskan sebuah definisi terhadap local culture atau local wisdom ini. Sebagai sebuah kajian, kemudian saya pun mempelajari dan mencoba mengaitkannya pada konteks yang ada. Definisi budaya lokal yang pertama saya ambil adalah berdasarkan visualisasi kebudayaan ditinjau dari sudut stuktur dan tingkatannya. Berikut adalah penjelasannya :
Superculture, adalah kebudayaan yang berlaku bagi seluruh masyarakat. Contoh: kebudayaan nasional;
Culture, lebih khusus, misalnya berdasarkan golongan etnik, profesi, wilayah atau daerah. Contoh : Budaya Sunda;
Subculture, merupakan kebudyaan khusus dalam sebuah culture, namun kebudyaan ini tidaklah bertentangan dengan kebudayaan induknya. Contoh : budaya gotong royong
Counter-culture, tingkatannya sama dengan sub-culture yaitu merupakan bagian turunan dari culture, namun counter-culture ini bertentangan dengan kebudayaan induknya. Contoh : budaya individualisme

Dilihat dari stuktur dan tingkatannya budaya lokal berada pada tingat culture. Hal ini berdasarkan sebuah skema sosial budaya yang ada di Indonesia dimana terdiri dari masyarakat yang bersifat manajemuk dalam stuktur sosial, budaya (multikultural) maupun ekonomi.

Jacobus Ranjabar (2006:150) mengatakan bahwa dilihat dari sifat majemuk masyarakat Indonesia, maka harus diterima bahwa adanya tiga golongan kebudayaan yang masing-masing mempunyai coraknya sendiri, ketiga golongan tersebut adalah sebagai berikut:
Kebudayaan suku bangsa (yang lebih dikenal secara umum di Indonesia dengan nama kebudayaan daerah)
Kebudayaan umum lokal
Kebudayaan nasional

Dalam penjelasannya, kebudayaan suku bangsa adalah sama dengan budaya lokal atau budaya daerah. Sedangkan kebudayaan umum lokal adalah tergantung pada aspek ruang, biasanya ini bisa dianalisis pada ruang perkotaan dimana hadir berbagai budaya lokal atau daerah yang dibawa oleh setiap pendatang, namun ada budaya dominan yang berkembang yaitu misalnya budaya lokal yang ada dikota atau tempat tersebut. Sedangkan kebudayaan nasional adalah akumulasi dari budaya-budaya daerah.

Definisi Jakobus itu seirama dengan pandangan Koentjaraningrat (2000). Koentjaraningrat memandang budaya lokal terkait dengan istilah suku bangsa, dimana menurutnya, suku bangsa sendiri adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan ’kesatuan kebudayaan’. Dalam hal ini unsur bahasa adalah ciri khasnya.

Pandangan yang menyatakan bahwa budaya lokal adalah merupakan bagian dari sebuah skema dari tingkatan budaya (hierakis bukan berdasarkan baik dan buruk), dikemukakan oleh antropolog terkemuka di Indonesia yang beretnis Sunda, Judistira K. Garna.

Menurut Judistira (2008:141), kebudayaan lokal adalah melengkapi kebudayaan regional, dan kebudayaan regional adalah bagian-bagian yang hakiki dalam bentukan kebudayaan nasional.

Lebih lanjut, mengenai budaya lokal dan budaya nasional, Judistira mengatakan bahwa dalam pembentukannya, kebudayaan nasional memberikan peluang terhadap budaya lokal untuk mengisinya. Adapun definisi budaya nasional yang mempunyai keterkaitan dengan budaya lokal adalah sebagai berikut:
Kebudayaan kebangsaan (kebudayaan nasional) berlandaskan kepada puncak-puncak kebudayaan daerah,
Kebudayaan kebangsaan ialah gabungan kebudayaan daerah dan unsur-unsur kebudayaan asing,
Kebudayaan kebangsaan menurut rekayasa pendukung kebudayaan dominan melalui kekuasaan politik dan ekonomi: dan
Kebudayaan kebangsaan dibentuk dari unsur-unsur kebudayaan asing yang modern dalam mengisi kekosongan dan ketidaksepakatan dari berbagai kebudayaan daerah (Judistira, 2008:41)

Pembatasan atau perbedaan antara budaya nasional dan budaya lokal atau budaya daerah diatas menjadi sebuah penegasan untuk memilah mana yang disebut budaya nasional dan budaya lokal baik dalam konteks ruang, waktu maupun masyarakat penganutnya.

Dalam pengertian yang luas, Judistira (2008:113) mengatakan bahwa kebudayaan daerah bukan hanya terungkap dari bentuk dan pernyataan rasa keindahan melalui kesenian belaka; tetapi termasuk segala bentuk, dan cara-cara berperilaku, bertindak, serta pola pikiran yang berada jauh dibelakang apa yang tampak tersebut.

Wilayah administratif tertentu, menurut Judistira bisa merupakan wilayah budaya daerah, atau wilayah budaya daerah itu meliputi beberapa wilayah administratif, ataupun disuatu wilayah admisnistratif akan terdiri dari bagian-bagian satu budaya daerah.

Wilayah administratif atau demografi pada dasarnya menjadi batasan dari budaya lokal dalam definisinya, namun pada perkembangannya dewasa ini, dimana arus urbanisasi dan atau persebaran penduduk yang cenderung tidak merata, menjadi sebuah persoalan yang mengikis definisi tersebut.

Dalam pengertian budaya lokal atau daerah yang ditinjau dalam faktor demografi dengan polemik di dalamnya, Kuntowijoyo memandang bahwa wilayah administratif antara desa dan kota menjadi kajian tersendiri. Dimana menurutnya, kota yang umumnya menjadi sentral dari bercampurnya berbagai kelompok masyarakat baik lokal maupun pendatang menjadi lokasi yang sulit didefinisikan. Sedangkan di wilayah desa, sangat memungkinkan untuk dilakukan pengidentifikasian.

Dikota-kota dan di lapisan atas masyarakat sudah ada yang kebudayaan nasional, sedangkan kebudayaan daerah dan tradisional menjadi semakin kuat bila semakin jauh dari pusat kota. Sekalipun inisiatif dan kreatifitas kebudayaan daerah dan tradisional jatuh ke tangan orang kota, sense of belonging orang desa terhadap tradisi jauh lebih besar. (Kuntowijoyo,2006:42)

Dalam pengkritisan definisi yang berdasarkan pada konteks demografi ini, Irwan Abdullah memberikan pandangannya :

Etnis selain merupakan konstruksi biologis juga merupakan konstruksi sosial dan budaya yang mendapatkan artinya dalam serangkaian interaksi sosial budaya. Berbagai etnis yang terdapat diberbagai tempat tidak lagi berada dalam batas-batas fisik (physical boundaries) yang tegas karena keberadaan etnis tersebut telah bercampur dengan etnis-etnis lain yang antar mereka telah membagi wilayah secara saling bersinggungan atau bahkan berhimpitan. (Abdullah, 2006:86)

Walaupun adanya interaksi antara budaya pendatang dan masyarakat lokal, pada hakekatnya definisi budaya lokal berdasarkan konteks wilayah atau demografis pada hakekatnya tetap masih relevan walaupun tidak sekuat definisi pada konteks suku bangsa. Hal ini seperti yang dikatakan Irwan Abdullah selanjutnya :

Keberadaan suatu etnis disuatu tempat memiliki sejarahnya secara tersendiri, khususnya menyangkut status yang dimiliki suatu etnis dalam hubungannya dengan etnis lain. Sebagai suatu etnis yang merupakan kelompok etnis pendatang dan berinteraksi dengan etnis asal yang terdapat disuatu tempat, maka secara alami akan menempatkan pendatang pada posisi yang relatif lemah. (Abdullah, 2006:84)

Merujuk pada beberapa pandangan sejumlah pakar budaya dan atau antropolog diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa budaya lokal dalam definisinya didasari oleh dua faktor utama yakni faktor suku bangsa yang menganutnya dan yang kedua adalah faktor demografis atau wilayah administratif.

Namun, melihat adanya polemik pada faktor demografis seiring dengan persebaran penduduk, maka penulis akan lebih menekankan definisi budaya lokal sebagai budaya yang dianut suku bangsa, misalnya Budaya Sunda (budaya lokal) adalah budaya yang dianut oleh Suku Bangsa Sunda, hal ini bisa ditentukan oleh minimal bahasa yang digunakan.

1.2. Kesehatan dan keanekaragaman budaya
Kesehatan Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar dipulau- pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok sukubangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda. Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga berkembang dan meluasnya agama-agama besar di Indonesia turut mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga memcerminkan kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok sukubangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan.
Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Dan tak kalah pentingnya, secara sosial budaya dan politik masyarakat Indonesia mempunyai jalinan sejarah dinamika interaksi antar kebudayaan yang dirangkai sejak dulu. Interaksi antar kebudayaan dijalin tidak hanya meliputi antar kelompok sukubangsa yang berbeda, namun juga meliputi antar peradaban yang ada di dunia. Labuhnya kapal-kapal Portugis di Banten pada abad pertengahan misalnya telah membuka diri Indonesia pada lingkup pergaulan dunia internasional pada saat itu. Hubungan antar pedagang gujarat dan pesisir jawa juga memberikan arti yang penting dalam membangun interaksi antar peradaban yang ada di Indonesia. Singgungan-singgungan peradaban ini pada dasarnya telah membangun daya elasitas bangsa Indonesia dalam berinteraksi dengan perbedaan. Disisi yang lain bangsa Indonesia juga mampu menelisik dan mengembangkan budaya lokal ditengah-tengah singgungan antar peradaban itu.
Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup secara berdampingan, saling mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel. Misalnya kebudayaan kraton atau kerajaan yang berdiri sejalan secara paralel dengan kebudayaan berburu meramu kelompok masyarakat tertentu. Dalam konteks kekinian dapat kita temui bagaimana kebudayaan masyarakat urban dapat berjalan paralel dengan kebudayaan rural atau pedesaan, bahkan dengan kebudayaan berburu meramu yang hidup jauh terpencil. Hubungan-hubungan antar kebudayaan tersebut dapat berjalan terjalin dalam bingkai ”Bhinneka Tunggal Ika” , dimana bisa kita maknai bahwa konteks keanekaragamannya bukan hanya mengacu kepada keanekaragaman kelompok sukubangsa semata namun kepada konteks kebudayaan.
Didasari pula bahwa dengan jumlah kelompok sukubangsa kurang lebih 700’an sukubangsa di seluruh nusantara, dengan berbagai tipe kelompok masyarakat yang beragam, serta keragaman agamanya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang sesungguhnya rapuh. Rapuh dalam artian dengan keragaman perbedaan yang dimilikinya maka potensi konflik yang dipunyainya juga akan semakin tajam. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat akan menjadi pendorong untuk memperkuat isu konflik yang muncul di tengah-tengah masyarakat dimana sebenarnya konflik itu muncul dari isu-isu lain yang tidak berkenaan dengan keragaman kebudayaan. Seperti kasus-kasus konflik yang muncul di Indonesia dimana dinyatakan sebagai kasus konflik agama dan sukubangsa. Padahal kenyataannya konflik-konflik tersebut didominsi oleh isu-isu lain yang lebih bersifat politik dan ekonomi. Memang tidak ada penyebab yang tunggal dalam kasus konflik yang ada di Indonesia. Namun beberapa kasus konflik yang ada di Indonesia mulai memunculkan pertanyaan tentang keanekaragaman yang kita miliki dan bagaimana seharusnya mengelolanya dengan benar.
Bukan oleh beberapa faktor termasuk warisan genetik, perilaku pribadi, akses terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu, dan lingkungan eksternal umum (seperti kualitas udara, air, dan kondisi perumahan). Selain itu, pertumbuhan badan penelitian telah mendokumentasikan asosiasi antara dan faktor sosial budaya dan kesehatan ( Berkman dan Kawachi, 2000 , Marmot dan Wilkinson, 2006 ). Untuk beberapa jenis variabel sosial, seperti status sosial ekonomi (SES) atau kemiskinan, bukti kuat link mereka untuk kesehatan telah ada sejak awal catatan resmi menjaga. Untuk jenis lain dari variabel-seperti jaringan sosial dan dukungan sosial atau pekerjaan stres-bukti hubungan mereka untuk kesehatan telah terakumulasi selama 30 tahun terakhir. Tujuan bab ini adalah untuk memberikan gambaran dari variabel-variabel sosial yang telah diteliti sebagai masukan untuk kesehatan (faktor penentu sosial apa yang disebut kesehatan), serta untuk menggambarkan pendekatan untuk pengukuran mereka dan bukti empiris yang menghubungkan setiap variabel hasil kesehatan.
Harus ditekankan di awal bahwa faktor penentu sosial dari kesehatan dapat dikonseptualisasikan sebagai mempengaruhi kesehatan di berbagai tingkat sepanjang perjalanan hidup. Jadi, misalnya, kemiskinan dapat dikonseptualisasikan sebagai eksposur yang mempengaruhi kesehatan individu pada berbagai tingkat organisasi dalam keluarga atau dalam lingkungan di mana individu berada. Lebih dari itu, berbagai tingkat pengaruh dapat co-terjadi dan berinteraksi dengan satu sama lain untuk menghasilkan kesehatan. Sebagai contoh, dampak merugikan kesehatan tumbuh di keluarga miskin dapat diperkuat jika keluarga yang juga terjadi berada dalam komunitas yang kurang beruntung (di mana keluarga miskin lainnya) bukan di komunitas kelas menengah. Selanjutnya, kemiskinan mungkin diferensial dan independen mempengaruhi kesehatan individu pada tahapan yang berbeda dari kehidupan saja (misalnya, di dalam rahim, masa bayi dan masa kanak-kanak, selama kehamilan, atau selama usia tua).
Singkatnya, pengaruh dan variabel sosial budaya terhadap kesehatan melibatkan dimensi baik waktu (tahapan kritis dalam perjalanan hidup dan efek dari pajanan kumulatif) serta tempat (beberapa tingkat eksposur). Konteks di mana variabel sosial dan budaya beroperasi untuk mempengaruhi hasil kesehatan disebut, umum, dan lingkungan sosial budaya.
1.3. Konsep Kesehatan
Konsep sehat dan upaya kesehatan yang dianut dunia telah banyak bergeser. Di Indonesia, pergeseran cara penanganan kesehatan masyarakat tak bisa cepat diikuti karena kekurangan orang yang mampu menerjemahkan berbagai konsep kesehatan menjadi kebijakan yang bisa diterapkan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi "Masalah Kesehatan Nasional" yang diprakarsai Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI) dalam rangka ulang tahunnya ke-36, Senin (1/7). Diskusi diikuti para pakar kesehatan masyarakat dari berbagai universitas, anggota DPR, organisasi nonpemerintah maupun pejabat instansi terkait dengan kesehatan.
Dekan FKM-UI Prof Dr dr Sudarto Ronoatmodjo menyatakan, sistem kesehatan yang dulu ditujukan untuk memelihara kesehatan fisik dan mental kini bergeser untuk mencapai derajat kesehatan setinggi-tingginya (goodness) dengan perbedaan antar-individu dan kelompok sekecil mungkin (fairness).

Upaya kesehatan, demikian guru besar FKM-UI Prof dr Does Sampoerno MPH menambahkan, kini tidak lagi sebagai health program for survival tetapi sebagai health program for human development. "Untuk mempertahankan dan meningkatkan upaya pembangunan diperlukan sumber daya manusia yang tidak sekadar tidak sakit, tetapi sehat dan produktif. Tahun 1988 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memasukkan unsur sehat/produktif sosial dan ekonomi dalam definisi sehat," papar Does.
Indikator kemajuan suatu negara yang digunakan internasional adalah Human Development Index (HDI), terdiri dari kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Tahun 1990 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mencanangkan Decade of Human Development dan tahun 1992 dinyatakan sebagai The Year of Human Development.
Untuk itu, upaya kesehatan tidak lagi hanya kuratif tetapi juga promotif dan preventif. Upaya kesehatan untuk pembangunan manusia bukan hanya tanggung jawab sektor kesehatan melainkan perlu kerja sama lintas sektor. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 menyatakan, tujuan pembangunan untuk meningkatkan SDM berkualitas. Tetapi kebijakan penyelenggaraan upaya kesehatan masih belum berubah, masih menekankan upaya kesehatan kuratif.
Perubahan baru dicanangkan secara resmi pada Rapat Kerja Kesehatan Masyarakat 1 Maret 1999. Presiden (ketika itu) Habibie mencanangkan Gerakan Pembangunan Nasional Berwawasan Kesehatan. Juga Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional, yaitu Paradigma Sehat dan Indonesia Sehat 2010.
Sosialisasi tak lancar
Keterbatasan dana menyebabkan upaya penyebarluasan paradigma sehat dan kebijakan program Indonesia Sehat 2010 tidak lancar. Krisis berkepanjangan dan banjir menguras dana Departemen Kesehatan. Upaya kesehatan yang semula ditekankan pada upaya "penyelamatan dan reformasi" terasa lebih banyak pada "penyelamatan" lewat Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK).

Analisa dan pembahasan kebijakan baru serta upaya sosialisasi makin kabur. Peraturan pemerintah yang memuat kebijakan kesehatan tingkat pusat dan provinsi tidak pernah dibahas secara mendalam. Bahkan, saat ini terasa kecenderungan pemerintah kabupaten dan kota menetapkan sendiri kebijakan yang terkait dengan program-program yang telah didesentralisasikan.
Menanggapi hal ini, Prof Dr dr Umar Fahmi Achmadi MPH dari FKM-UI yang kini menjabat sebagai Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan menyatakan, saat ini terasa kurang orang-orang yang mampu menerjemahkan konsep-konsep menjadi kebijakan yang bisa diterapkan.
Indonesia Sehat 2010 sering keliru dipersepsikan sebagai target untuk menyehatkan seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2010. Padahal, Indonesia Sehat 2010 adalah dokumen program kesehatan yang dijalankan di Indonesia. Saat ini sedang dilakukan penjabaran pokok-pokok program menjadi program pokok, standar pelayanan minimal, juga penetapan tolok ukur dan indikator kemajuan kesehatan.
Umar mengakui kesulitan untuk menerapkan indikator kemajuan kesehatan di daerah karena ada euforia otonomi daerah. Untuk itu pihaknya melakukan roadshow ke daerah dalam rangka advokasi dan penyebarluasan program Indonesia Sehat 2010. (atk)
1.4. Masalah Kesehatan di Indonesia

Kesehatan adalah aset jangka panjang, tapi di Indonesia kesehatan bukan menjadi prioritas pemerintah. Sehingga jangan heran kalau masalah-masalah kesehatan dasar tidak pernah mengalami kemajuan.

Sebuah penelitian independen yang dilakukan menemukan bagaimana kondisi kesehatan di Indonesia. Dalam penelitian ini juga diberikan beberapa solusi yang dapat digunakan dalam mengatasi masalah tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Economist Intelligence Unit (EIU) yang disponsori oleh General Electric (GE) dan dilaporkan dalam 'Old Problems, fresh solutions: Indonesia's new health regime'.
"Di Indonesia, kesehatan bukan menjadi prioritas. Secara kebijakan, anggaran kesehatan di Indonesia selama 40 tahun tidak pernah lebih dari 3 persen dan jumlah ini masih di bawah anggaran untuk BBM dan listrik yang mencapai 6 kali lipatnya," ujar Prof Hasbullah Thabrany, selaku Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI dalam acara konferensi 'Healthymagination' di Hotel JW Marriot, Jakarta, Rabu (29/9/2010).
Prof Hasbullah menuturkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan sebagian besar warga adalah yang memiliki kualitas tinggi dengan pengeluaran rendah (high quality-low cost).
Dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap tantangan utama dalam sistem layanan kesehatan di Indonesia dan sejumlah solusi yang dapat digunakan untuk mengatasinya. Penelitian ini melibatkan interview dengan pemerintah, profesional medis dan akademisi di Indonesia.
Ada beberapa kunci hasil penelitian yang dilaporkan, yaitu:
1. Memperluas pelayanan kesehatan ke daerah pedesaan adalah tantangan utama
Bentuk geografis dari pulau-pulau di Indonesia menjadikan perluasan pelayanan kesehatan memiliki tantangan lebih besar dibandingkan dengan negara lain.

Sebagai contoh, pada tahun 2006 di daerah perkotaan 1 dokter untuk 2.763 penduduk, sedangkan di daerah pedesaan 1 dokter untuk 16.792 penduduk. Sebagai konsekuensinya, tingkat kesehatannya masih buruk.
2. Anggaran kesehatan rendah, tetapi pengeluarannya tinggi
Pelayanan asuransi masih langka dan biaya kesehatan harus ditanggung langsung oleh pasien, hal ini karena anggaran pelayanan kesehatan yang dimiliki masih rendah.
Data terakhir menunjukkan hanya sekitar setengahnya yang berasal dari pemerintah, dengan sepertiga dibayar sendiri oleh masyarakat dan sisanya berasal dari asuransi atau sumber lain.
3. Pemerintah berkomitmen untuk berubah
Meskipun memiliki sejumlah masalah, pemerintah tetap berkomitmen untuk bisa mencapai MDGs (Millenium Development Goals) dan meningkatkan pengeluaran untuk pelayanan kesehatan.
Salah satu komitmen pemerintah yang didukung adalah skema asuransi kesehatan yang disebut dengan Jamkesmas, pemerintah berharap asuransi ini dapat memperluas pelayanan kesehatan di masyarakat.
4. Bayaran yang lebih baik untuk pelayanan kesehatan yang lebih baik
Salah satu masalah kesehatan yang akut di Indonesia adalah pendistribusian tenaga kesehatan yang tidak baik. Di daerah pedesaan masih ada yang kekurangan dokter umum dan spesialis seperti ginekologi, dokter penyakit dalam dan dokter anestesi.
Pemerintah berupaya mengatasinya dengan memberikan bayaran lebih tinggi bagi dokter yang mau bekerja jauh dari perkotaan. Namun hal ini belum memberikan dampak yang berarti.

5. Mencegah lebih baik daripada mengobati
Investasi infrastruktur dasar seperti penyediaan air bersih yang mencukupi dan sanitasi, penambahan rumah sakit adalah suatu hal yang vital, tapi para ahli menuturkan pemerintah daerah tidak selalu bisa menggunakan dengan baik dana yang ada.
Karenanya seringkali fokus pencegahan seperti edukasi mengenai keluarga berencana dan nutrisi (perubahan gaya hidup yang berhubungan dengan merokok dan penyakit jantung) bisa memberikan hasil yang lebih baik.
6. Inovasi adalah penyelesaian yang sangat penting untuk masalah pelayanan kesehatan di Indonesia
Inovasi untuk mengurangi biaya dan memperluas cakupan teknologi kesehatan dapat menjadi kunci dalam membantu mengatasi permasalah pelayanan kesehatan di Indonesia.
Inovasi ini bisa meliputi desain ulang mesin yang sangat kompleks sehingga tidak hanya lebih mudah dioperasikan, tapi juga dapat mengurangi biaya produksi.
1.5. Kesehatan Tradisional
“Suwe ora jamu, jamu godhong telo ………” mungkin sebagian besar dari kita tidak asing mendengar lagu tersebut, tapi kita tidak bicara masalah lagu tersebut, akan tetapi tentang jamu. Di masyarakat indonesia khususnya masyarakat jawa, jamu merupakan obat alternatif yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu dimana pertama kali jamu dikenalkan di lingkungan keraton Jogjakarta dan Surakarta.
Jadi jaman dulu jamu merupakan resep rahasia keraton. Seiring dengan perkembangan jaman, jamu mulai dikenal di masyarakat sampai dengan sekarang dan dianggap sebagai salah satu warisan leluhur yang harus dilestarikan.

Sejak dulu Indonesia terkenal dengan kekayaan alamnya, tanah yang subuh dengan beraneka ragam kekayaan hayatinya. Bahan-bahan jamu sendiri diambil dari tumbuh-tumbuhan baik dari akar, daun, batang, bunga maupun kulit kayu.
Jamu digunakan untuk mendapatkan kesehatan serta menyembuhkan berbagai penyakit serta digunakan pula sebagai perawatan kecantikan muka dan tubuh.
Di jaman moderen sekarang ini jamu masih tetap mendapat tempat di hati konsumennya, bahkan sudah berkembang menjadi industri besar dan dengan kemasan yang instan sehingga konsumen lebih mudah dalam mengkonsumsinya.
1.6. Budaya Hidup Sehat
Budayakan Hidup Sehat - Dijaman seperti sekarang ini kesehatan adalah sesuatu yang amat sangat berharga, bagaimana tidak?lihat saja sekarang Rumah sakit yang biayanya semakin tidak terjangkau karena sudah berorientasi pada bisnis semata tanpa mengenal kemanusiaan, yang berduit yang bisa berobat, yang sakit dan miskin tunggu aja waktunya. Mungkin pameo tersebut bisa menggambarkan kondisi sekarang ini. Nah lantas bagaimana agar hal tersebut tidak terjadi??menurut saya adalah budayakan hidup sehat, karena hanya dengan pola hidup sehat akan mempertipis kemungkinan untuk sakit, mencegah lebih baik daripada mengobati kan??
Membudayakan hidup sehat juga tidak terlalu sulit sebenarnya, yang sulit adalah menata niat untuk memulainya. Tak perlu repot menghitung kalori atau memilah-milah makanan. Dengan cermat memilih warna bahan makanan, makan roti gandum dan makan makanan selingan bisa menjadi solusi hidup sehat. Coba saja cara-cara mudah lainnya!
Terkadang banyak orang beranggapan hidup sehat itu repot. Memulai diet pun jadi hal yang berat karena sudah membayangkan apa saja makanan yang tidak boleh dimakan dan harus menyiapkan makanan yang sering tidak disukai. Padahal kalau dicermati lebih baik, diet bisa jadi hal yang menyenangkan. Hidup sehat pun bisa di dapat tanpa beban.

Berikut ini terdapat lima cara yang bisa Anda lakukan untuk mendapatkan tubuh yang sehat melalui pola makan, diantaranya:
1. Perhitungkan Warna Makanan
Kebanyakan orang selalu melihat jumlah kalori dalam makanan. Mulai sekarang, coba perhatikan juga berapa jenis warna yang terdapat dalam satu porsi makanan. Seperti apa saja jenis sayuran yang dimakan dalam satu hari. Jangan sampai makanan yang dikonsumsi terlalu 'pucat' tidak ada warna warni sayuran di dalamnya. Semakin banyak warna sayuran yang dikonsumsi akan semakin baik, karena pertanda antioksidan, vitamin dan serat yang dikonsumsi pun semakin banyak juga.
2. Makanan Selingan
Selain makan cukup 3 kali sehari, juga perlu makanan selingan. Biasanya makanan selingan ini bisa dikonsumsi sekitar pukul 10 pagi atau pukul 4 sore. Hal ini guna menghindari perut yang terlalu kosong dan lapar, sehingga membuat Anda kalap ketika waktu makan tiba. Makanan selingan ini bisa berupa biskuit gandum atau pun biskuit sayuran yang bis amenjaga peruta tetap terisi.
3. Perbanyak Serat Saat Sarapan
Serat yang cukup saat sarapan pagi akan membuat perut kenyang sampai waktu makan siang tiba. Hal ini bisa disiasati dengan mengkonsumsi sereal atau oatmeal yang dipadu dengan potongan buah seperti pisang dan juga strawberry. Jika tidak bisa mengkonsumsi sereal, roti bisa jadi penggantinya. Pilih roti yang terbuat dari tepung gandum, dan padukan dengan selai kacang ataupun selai buah.
4. Makanan Peredam Lapar
Jika Anda termasuk orang yang tidak bisa tahan dengan rasa lapar, pastikan selalu ada camilan di lemari pendingin Anda. Camilan yang dipilih adalah camilan sehat seperti buah-buahan yang bisa meredam rasa lapar Anda. Seperti apel, pepaya, pisang, strawberry, peach, dll.
5. Mengontrol Diri
Selain jenis makanan yang dikonsumsi, hal terpenting dalam menjalankannya adalah diri sendiri. Bagaimana bisa mengontrol setiap makanan yang masuk dan bisa mengerem konsumsi makanan tersebut jika dirasa sudah berlebihan. Disiplin terhadap diri membuat diet sehat berhasil dijalani.
Macam-macam kesehatan
1. Kesehatan Fisik
Kesehatan fisik terwujud apabila sesorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit. Semua organ tubuh berfungsi normal atau tidak mengalami gangguan.
2. Kesehatan Mental
Kesehatan mental atau kesehatan jiwa mencakup 3 komponen, yakni pikiran, emosional, dan spiritual. Pikiran sehat tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran. Emosional sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya, misalnya takut, gembira, kuatir, sedih dan sebagainya.
Spiritual sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, kepercayaan dan sebagainya terhadap sesuatu di luar alam fana ini, yakni Tuhan Yang Maha Kuasa (Allah SWT dalam agama Islam). Misalnya sehat spiritual dapat dilihat dari praktik keagamaan seseorang. Dengan perkataan lain, sehat spiritual adalah keadaan dimana seseorang menjalankan ibadah dan semua aturan-aturan agama yang dianutnya.

3. Kesehatan Sosial
Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, agama atau kepercayan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, serta saling toleran dan menghargai.
4. Kesehatan Ekonomi
Sehat jika ditinjau dari aspek ekonomi terlihat bila seseorang (dewasa) produktif, dalam arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong terhadap hidupnya sendiri atau keluarganya secara finansial. Bagi mereka yang belum dewasa (siswa atau mahasiswa) dan usia lanjut (pensiunan), dengan sendirinya batasan ini tidak berlaku
Oleh sebab itu, bagi kelompok tersebut, yang berlaku adalah produktif secara sosial, yakni mempunyai kegiatan yang berguna bagi kehidupan mereka nanti, misalnya berprestasi bagi siswa atau mahasiswa, dan kegiatan sosial, keagamaan, atau pelayanan kemasyarakatan lainnya bagi usia lanjut.


1.8 Kesehatan dalam Sosial Budaya

Seperti kita ikuti bersama, akhir-akhir ini diskusi tentang global change banyak diangkat. Berbagai perubahan sosial, ekonomi, budaya, teknologi dan politik mengharuskan jalinan hubungan di antara masyarakat manusia di seluruh dunia. Fenomena ini dirangkum dalam terminologi globalisation. Ditengah riuh rendah globalisasi inilah muncul wacana Dampak Perubahan Sosial dan Budaya. Dampak dari perubahan sosial dan budaya sendiri diartikan sebagai perubahan dalam skala besar pada sistem bio-fisik dan ekologi yang disebabkan aktifitas manusia. Perubahan ini terkait erat dengan sistem penunjang kehidupan planet bumi (life-support system). Ini terjadi melalui proses historis panjang dan merupakan agregasi pengaruh kehidupan manusia terhadap lingkungan, yang tergambar misalnya pada angka populasi yang terus meningkat, aktifitas ekonomi, dan pilihan-pilihan teknologi dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Saat ini pengaruh dan beban terhadap lingkungan hidup sedemikian besar, sehingga mulai terasa gangguan-gangguan terhadap Sistem Bumi kita.
Perubahan sosial dan budaya yang terjadi seiring tekanan besar yang dilakukan manusia terhadap sistem alam sekitar, menghadirkan berbagai macam risiko kesehatan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Sebagai contoh, kita terus mempertinggi konsentrasi gas-gas tertentu yang menyebabkan meningkatkan efek alami rumah kaca (greenhouse) yang mencegah bumi dari pendinginan alami (freezing). Selama abad 20 ini, suhu rata-rata permukaan bumi meningkat sekitar 0,6oC dan sekitar dua-per-tiga pemanasan ini terjadi sejak tahun 1975. Dampak perubahan sosial dan budaya penting lainnya adalah menipisnya lapisan ozon, hilangnya keaneragaman hayati (bio-diversity), degradasi kualitas lahan, penangkapan ikan melampaui batas (over-fishing), terputusnya siklus unsur-unsur penting (misalnya nitrogen, sulfur, fosfor), berkurangnya suplai air bersih, urbanisasi, dan penyebaran global berbagai polutan organik. Dari kacamata kesehatan, hal-hal di atas mengindikasikan bahwa kesehatan umat manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terjadi di luar batas kemampuan daya dukung ruang lingkungan dimana mereka hidup.
Dalam skala global, selama seperempat abad ke belakang, mulai tumbuh perhatian serius dari masyarakat ilmiah terhadap penyakit-penyakit yang terkait dengan masalah lingkungan, seperti kanker yang disebabkan racun tertentu (toxin related cancers), kelainan reproduksi atau gangguan pernapasan dan paru-paru akibat polusi udara. Secara institusional International Human Dimensions Programme on Global Environmental Change (IHDP) membangun kerjasama riset dengan Earth System Science Partnership dalam menyongsong tantangan permasalahan kesehatan dan Dampak dari perubahan sosial dan budaya.
Pengaruh perubahan iklim global terhadap kesehatan umat manusia bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan kerja keras dan pendekatan inter-disiplin diantaranya dari studi evolusi, bio-geografi, ekologi dan ilmu sosial. Di sisi lain kemajuan teknik penginderaan jauh (remote sensing) dan aplikasi-aplikasi sistem informasi geografis akan memberikan sumbangan berarti dalam melakukan monitoring lingkungan secara multi-temporal dan multi-spatial resolution. Dua faktor ini sangat relevan dengan tantangan studi dampak perubahan sosial dan budaya terhadap kesehatan lingkungan yang memerlukan analisa historis keterkaitan dampak perubahan sosial dan budaya dan kesehatan serta analisa pengaruh perubahan sosial dan budaya di tingkat lokal, regional hingga global.
B. Bagaimana Perubahan Sosial dan Budaya Mempengaruhi Kesehatan Manusia?
Ada tiga alur tingkatan pengaruh perubahan sosial dan budaya terhadap kesehatan. Pengaruh ini dari urutan atas ke bawah menunjukkan peningkatan kompleksitas dan pengaruhnya bersifat semakin tidak langsung pada kesehatan. Pada alur paling atas, terlihat bagaimana perubahan pada kondisi mendasar lingkungan fisik (contohnya: suhu ekstrim atau tingkat radiasi ultraviolet) dapat mempengaruhi biologi manusia dan kesehatan secara langsung (misalnya sejenis kanker kulit). Alur pada dua tingkatan lain, di tengah dan bawah, mengilustrasikan proses-proses dengan kompleksitas lebih tinggi, termasuk hubungan antara kondisi lingkungan, fungsi-fungsi ekosistem, dan kondisi sosial-ekonomi.
Alur tengah dan bawah menunjukkan tidak mudahnya menemukan korelasi langsung antara perubahan lingkungan dan kondisi kesehatan. Akan tetapi dapat ditarik benang merah bahwa perubahan-perubahan lingkungan ini secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab atas faktor-faktor penyangga utama kesehatan dan kehidupan manusia, seperti produksi bahan makanan, air bersih, kondisi iklim, keamanan fisik, kesejahteraan manusia, dan jaminan keselamatan dan kualitas sosial. Para praktisi kesehatan dan lingkungan pun akan menemukan banyak domain permasalahan baru di sini, menambah deretan permasalahan pemunculan toksi-ekologi lokal, sirkulasi lokal penyebab infeksi, sampai ke pengaruh lingkungan dalam skala besar yang bekerja pada gangguan kondisi ekologi dan proses penyangga kehidupan ini. Jelaslah bahwa resiko terbesar dari dampak perubahan sosial dan budaya atas kesehatan dialami mereka yang paling rentan lokasi geografisnya atau paling rentan tingkat sumber daya sosial dan ekonominya.
C. Aktifitas Penduduk bagi Kesehatan
Sebagaimana disinggung di atas, masyarakat manusia sangat bervariasi dalam tingkat kerentanan terhadap serangan kesehatan. Kerentanan ini merupakan fungsi dari kemampuan masyarakat dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim dan lingkungan. Kerentanan juga bergantung pada beberapa faktor seperti kepadatan penduduk, tingkat ekonomi, ketersediaan makanan, kondisi lingkungan lokal, kondisi kesehatannya itu sendiri, dan kualitas serta ketersediaan fasilitas kesehatan publik.
Wabah demam berdarah yang melanda negeri kita menyiratkan betapa rentannya kondisi kesehatan-lingkungan di Indonesia saat ini, baik dilihat dari sisi antisipasi terhadap wabah, kesigapan peanggulangannya sampai pada penanganan para penderita yang kurang mampu. Merebaknya wabah di kawasan urban juga menyiratkan kerentanan kondisi lingkungan dan kerentanan sosial-ekonomi. Hal ini terkait dengan patron penggunaan lahan, kepadatan penduduk, urbanisasi, meningkatnya kemiskinan di kawasan urban, selain faktor lain seperti rendahnya pemberantasan nyamuk vektor penyakit sejak dini, atau resistensi nyamuk sampai kemungkinan munculnya strain atau jenis virus baru.
Pada dekade lalu penelitian ilmiah yang menghubungkan pengaruh perubahan iklim global terhadap kesehatan dapat dirangkum dalam tiga katagori besar. Pertama, studi-studi empiris untuk mencari saling-hubungan antara kecenderungan dan variasi iklim dengan keadaan kesehatan. Kedua, studi-studi untuk mengumpulkan bukti-bukti munculnya masalah kesehatan sebagai akibat perubahan iklim. Ketiga, studi-studi pemodelan kondisi kesehatan di masa depan. Penelitian empiris jenis pertama dan kedua dimanfaatkan untuk mengisi kekosongan pengetahuan serta memperkirakan kondisi kesehatan sebagai tanggapan terhadap perubahan iklim dan lingkungan (scenario-based health risk assessment).
Akan tetapi, menimbang variasi kerentanan sosial-ekonomi yang telah kita singgung, keberhasilan sumbangan ilmiah di atas hanya akan optimal jika didukung paling tidak dua faktor lain, yaitu faktor administratif-legislatif dan faktor cultural-personal (kebiasaan hidup). Administrasi-legislasi adalah pembuatan aturan yang memaksa semua orang atau beberapa kalangan tertentu untuk melakukan tindakan-tindakan preventif dan penanggulangan menghadapi masalah ini. Cakupan kerja faktor ini adalah dari mulai tingkatan supra-nasional, nasional sampai tingkat komunitas tertentu. Selanjutnya secara kultural-personal masyarakat didorong secara sadar dan sukarela untuk melakukan aksi-aksi yang mendukung kesehatan-lingkungan melalui advokasi, pendidikan atau insentif ekonomi. Faktor ini dikerjakan dari tingkatan supra-nasional sampai tingkat individu.
D. Upaya yang Dapat Dilakukan
Aktifitas penelitian yang menghubungkan kajian lingkungan dan kesehatan secara integral serta kerja praktis sistematis dari hasil penelitian ilmiah di atas masih sangat sedikit dilakukan di Indonesia. Menghadapi tantangan lingkungan dan kesehatan ini diperlukan terobosan-terobosan institusional baru diantara lembaga terkait lingkungan hidup dan kesehatan, misalnya dilakukan rintisan kerjasama intensif yang diprakarsai Departemen Kesehatan, Departemen Sosial dan Kementerian Lingkungan Hidup bersama lembaga penyedia data keruangan seperti Bakosurtanal (pemetaan) dan LAPAN (analisa melalui citra satelit). Untuk mewujudkan kerjasama di tataran praktis komunitas atau LSM pemerhati lingkungan hidup mesti berkolaborasi dengan Ikatan Dokter Indonesia bersama asosiasi profesi seperti Ikatan Surveyor Indonesia (ISI), Masyarakat Penginderaan Jauh (MAPIN) dalam mewujudkan agenda-agenda penelitian dan program-program penanganan permasalahan kesehatan dan perubahan lingkungan di tingkat lokal hingga nasional.
Hadirnya wacana dan penelitian sosial budaya dengan kompleksitas, ketidakpastian konsep-metodologi, dan perubahan-perubahan besar di masa depan, telah menghadirkan tantangan-tantangan dan tugas-tugas bagi komunitas ilmiah, masyarakat dan para pengambil keputusan. Penelitian ilmiah yang cenderung lamban, kini harus berganti dengan usaha-usaha terarah dan cepat menghadapi urgensi penanganan masalah kesehatan-lingkungan. Kemudian dalam gerak cepat pula informasi yang dihasilkan dunia ilmiah, walaupun dengan segala ketidaksempurnaan dan asumsi-asumsi, didorong untuk memasuki arena kebijakan. Masalah kesehatan dan GEC ini merupakan isu krusial dan bahkan isu sentral dalam diskursus internasional seputar pembangunan yang berkelanjutan

Kamis, 13 Januari 2011

Aku dan Perasaan KU

    Frans
  •   Belajar Dari Elang

       Kawan, saya membaca dari sebuah artikel tentang kehidupan elang yang penuh dengan tantangan hidup yang dapat kita ambil pelajaran untuk kita terapakan di kehidupan kita.

       Seperti yang kita tahu, Elang merupakan lambang pemberani dan keperkasaan yang merajai langit. Dengan paruh yang tajam, cakar dengan cengkraman kokoh dan sayap yang lebar, Elang terbang dan menjalani kehidupannya dengan berani. Elang mampu hidup hingga 70 tahun melebihi umur makhluk hidup pada umumnya. Akan tetapi tahukah kawan untuk mencapai umur itu, seekor elang harus mengalami pergejolakan hidup yang harus dilewatinya.
        Pergejolakan itu dimulai ketika elang mulai menginjak umur 40 tahun. Umur yang tak lagi membuat kembali perkasa kecuali dia bisa melewatinya. Hanya ada dua pilihan menunggu kematian atau harus mengalami transformasi yang sangat menyakitkan. Betapa tidak menyakitkan dengan keadaan cakarnya mulai menua, paruhnya yang panjang dan membengkok dan sayapnya menjadi terasa sangat berat karena bulunya telah tumbuh lebat dan tebal, selama 150 hari ia harus mengubah keadaan fisiknya menjadi perkasa kembali.
          Pertama, elang harus mematukkan paruhnya pada batu karang sampai paruh tersebut terlepas dari mulutnya, kemudian berdiam beberapa lama menunggu tumbuhnya paruh baru.
        Kedua, dengan paruhnya yang baru, elang harus mencabut satu persatu cakar- cakarnya dan ketika cakar yang baru sudah tumbuh,
        ketiga, dengan cakar yang baru, elang akan mencabut bulu badannya satu demi satu. Lima bulan kemudian, bulu-bulu elang yang baru sudah tumbuh.
           Setelah melalui proses yang sangant menyakitkan itu, elang mulai dapat terbang kembali dengan paruh, cakar dan sayapnya yang baru, elang tersebut siap memulai menjalani 30 tahun kehidupan barunya dengan penuh energi sperti saat perkasanya dulu!
             Dalam kehidupan kita ini, kadang kita juga harus melakukan suatu keputusan yang sangat berat untuk memulai sesuatu proses pembaharuan. Kita harus berani dan mau membuang semua kebiasaan lama yang mengikat, meskipun kebiasaan lama itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan melenakan.
               Kita harus rela untuk meninggalkan perilaku lama kita agar kita dapat mulai terbang lagi menggapai tujuan yang lebih baik di masa depan. Hanya bila kita bersedia melepaskan beban lama, membuka diri untuk belajar hal-hal yang baru, kita baru mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan kita yang terpendam, mengasah keahlian baru dan menatap masa depan dengan penuh keyakinan.
**Halangan terbesar untuk berubah terletak di dalam diriku sendiri dan diriku sang penguasa atas diriku sendiri. Tak akan ku biarkan masa lalu menumpulkan asa dan melemahkan semangat diriku.**






BUDAYA DAERAH-DAERAH TENTANG IBU MELAHIRKAN DAN MERAWAT BALITA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang

Kesehatan Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar dipulau- pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok sukubangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda. Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga berkembang dan meluasnya agama-agama besar di Indonesia turut mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga memcerminkan kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok sukubangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan.
Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Dan tak kalah pentingnya, secara sosial budaya dan politik masyarakat Indonesia mempunyai jalinan sejarah dinamika interaksi antar kebudayaan yang dirangkai sejak dulu. Interaksi antar kebudayaan dijalin tidak hanya meliputi antar kelompok sukubangsa yang berbeda, namun juga meliputi antar peradaban yang ada di dunia. Labuhnya kapal-kapal Portugis di Banten pada abad pertengahan misalnya telah membuka diri Indonesia pada lingkup pergaulan dunia internasional pada saat itu. Hubungan antar pedagang gujarat dan pesisir jawa juga memberikan arti yang penting dalam membangun interaksi antar peradaban yang ada di Indonesia. Singgungan-singgungan peradaban ini pada dasarnya telah membangun daya elasitas bangsa Indonesia dalam berinteraksi dengan perbedaan. Disisi yang lain bangsa Indonesia juga mampu menelisik dan mengembangkan budaya lokal ditengah-tengah singgungan antar peradaban itu.
Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup secara berdampingan, saling mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel. Misalnya kebudayaan kraton atau kerajaan yang berdiri sejalan secara paralel dengan kebudayaan berburu meramu kelompok masyarakat tertentu. Dalam konteks kekinian dapat kita temui bagaimana kebudayaan masyarakat urban dapat berjalan paralel dengan kebudayaan rural atau pedesaan, bahkan dengan kebudayaan berburu meramu yang hidup jauh terpencil. Hubungan-hubungan antar kebudayaan tersebut dapat berjalan terjalin dalam bingkai ”Bhinneka Tunggal Ika” , dimana bisa kita maknai bahwa konteks keanekaragamannya bukan hanya mengacu kepada keanekaragaman kelompok sukubangsa semata namun kepada konteks kebudayaan.
Didasari pula bahwa dengan jumlah kelompok sukubangsa kurang lebih 700’an sukubangsa di seluruh nusantara, dengan berbagai tipe kelompok masyarakat yang beragam, serta keragaman agamanya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang sesungguhnya rapuh. Rapuh dalam artian dengan keragaman perbedaan yang dimilikinya maka potensi konflik yang dipunyainya juga akan semakin tajam. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat akan menjadi pendorong untuk memperkuat isu konflik yang muncul di tengah-tengah masyarakat dimana sebenarnya konflik itu muncul dari isu-isu lain yang tidak berkenaan dengan keragaman kebudayaan. Seperti kasus-kasus konflik yang muncul di Indonesia dimana dinyatakan sebagai kasus konflik agama dan sukubangsa. Padahal kenyataannya konflik-konflik tersebut didominsi oleh isu-isu lain yang lebih bersifat politik dan ekonomi. Memang tidak ada penyebab yang tunggal dalam kasus konflik yang ada di Indonesia. Namun beberapa kasus konflik yang ada di Indonesia mulai memunculkan pertanyaan tentang keanekaragaman yang kita miliki dan bagaimana seharusnya mengelolanya dengan benar.
Ukan oleh beberapa faktor termasuk warisan genetik, perilaku pribadi, akses terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu, dan lingkungan eksternal umum (seperti kualitas udara, air, dan kondisi perumahan).  Selain itu, pertumbuhan badan penelitian telah mendokumentasikan asosiasi antara dan faktor sosial budaya dan kesehatan ( Berkman dan Kawachi, 2000 , Marmot dan Wilkinson, 2006 ).  Untuk beberapa jenis variabel sosial, seperti status sosial ekonomi (SES) atau kemiskinan, bukti kuat link mereka untuk kesehatan telah ada sejak awal catatan resmi menjaga.  Untuk jenis lain dari variabel-seperti jaringan sosial dan dukungan sosial atau pekerjaan stres-bukti hubungan mereka untuk kesehatan telah terakumulasi selama 30 tahun terakhir.  Tujuan bab ini adalah untuk memberikan gambaran dari variabel-variabel sosial yang telah diteliti sebagai masukan untuk kesehatan (faktor penentu sosial apa yang disebut kesehatan), serta untuk menggambarkan pendekatan untuk pengukuran mereka dan bukti empiris yang menghubungkan setiap variabel hasil kesehatan.
 Harus ditekankan di awal bahwa faktor penentu sosial dari kesehatan dapat dikonseptualisasikan sebagai mempengaruhi kesehatan di berbagai tingkat sepanjang perjalanan hidup.  Jadi, misalnya, kemiskinan dapat dikonseptualisasikan sebagai eksposur yang mempengaruhi kesehatan individu pada berbagai tingkat organisasi dalam keluarga atau dalam lingkungan di mana individu berada.  Lebih dari itu, berbagai tingkat pengaruh dapat co-terjadi dan berinteraksi dengan satu sama lain untuk menghasilkan kesehatan.  Sebagai contoh, dampak merugikan kesehatan tumbuh di keluarga miskin dapat diperkuat jika keluarga yang juga terjadi berada dalam komunitas yang kurang beruntung (di mana keluarga miskin lainnya) bukan di komunitas kelas menengah.  Selanjutnya, kemiskinan mungkin diferensial dan independen mempengaruhi kesehatan individu pada tahapan yang berbeda dari kehidupan saja (misalnya, di dalam rahim, masa bayi dan masa kanak-kanak, selama kehamilan, atau selama usia tua).
 Singkatnya, pengaruh dan variabel sosial budaya terhadap kesehatan melibatkan dimensi baik waktu (tahapan kritis dalam perjalanan hidup dan efek dari pajanan kumulatif) serta tempat (beberapa tingkat eksposur).  Konteks di mana variabel sosial dan budaya beroperasi untuk mempengaruhi hasil kesehatan disebut, umum, dan lingkungan sosial budaya.


1.2. Rumusan Masalah
Salah satu faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi kondisi kesehatan bayi adalah makanan yang diberikan. Dalam setiap masyarakat ada aturan-aturan yang menentukan kuantitas, kualitas dan jenis-jenis makanan yang seharusnya dan tidak seharusnya dikonsumsi oleh anggota-anggota suatu rumah tangga, sesuai dengan kedudukan, usia, jenis kelamin dan situasi-situasi tertentu. Misalnya, ibu yang sedang hamil tidak diperbolehkan atau dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan tertentu; ayah yang bekerja sebagai pencari nafkah berhak mendapat jumlah makanan yang lebih banyak dan bagian yang lebih baik daripada anggota keluarga yang lain; atau anak laki-laki diberi makan lebih dulu daripada anak perempuan. Walaupun pola makan ini sudah menjadi tradisi ataupun kebiasaan,namun yang paling berperan mengatur menu setiap hari dan mendistribusikan makanan kepada keluarga adalah ibu; dengan kata lain ibu mempunyai peran sebagai gate- keeper dari keluarga.
Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia kita bisa melihat konsepsi budaya yang terwujud dalam perilaku berkaitan dengan pola pemberian makan pada bayi yang berbeda, dengan konsepsi kesehatan modern. Sebagai contoh, pemberian ASI menurut konsep kesehatan moderen ataupun medis dianjurkan selama 2 (dua) tahun dan pemberian makanan tambahan berupa makanan padat sebaiknya dimulai sesudah bayi berumur 4 tahun. Namun, pada suku Sasak di Lombok, ibu yang baru bersalin selain memberikan nasi pakpak (nasi yang telah dikunyah oleh ibunya lebih dahulu) kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa apa yang keluar dari mulut ibu merupakan yang terbaik untuk bayi. Sementara pada masyarakat Kerinci di Sumatera Barat, pada usia sebulan bayi sudah diberi bubur tepung, bubur nasi nasi, pisang dan lain-lain. Ada pula kebiasaan memberi roti, pisang, nasi yangsudah dilumatkan ataupun madu, teh manis kepada bayi baru lahir sebelum ASI keluar. Demikian pula halnya dengan pembuangan colostrum (ASI yang pertama kali keluar). Di beberapa masyarakat tradisional, colostrum ini dianggap sebagai susu yang sudah rusak dan tak baik diberikan pada bayi karena warnanya yang kekuning-kuningan. Selain itu, ada yang menganggap bahwa colostrum dapat menyebabkan diare, muntah dan masuk angin pada bayi. Sementara, colostrum sangat berperan dalam menambah daya kekebalan tubuh bayi.
Walaupun pada masyarakat tradisional pemberian ASI bukan merupakan permasalahan yang besar karena pada umumnya ibu memberikan bayinya ASI, namun yang menjadi permasalahan adalah pola pemberian ASI yang tidak sesuai dengan konsep medis sehingga menimbulkan dampak negatif pada kesehatan dan pertumbuhan bayi. Disamping pola pemberian yang salah, kualitas ASI juga kurang. Hal ini disebabkan banyaknya pantangan terhadap makanan yang dikonsumsi si ibu baik pada saat hamil maupun sesudah melahirkan. Sebagai contoh, pada masyarakat Kerinci ibu yang sedang menyusui pantang untuk mengkonsumsi bayam, ikan laut atau sayur nangka. Di beberapa daerah ada yang memantangkan ibu yang menyusui untuk memakan telur. Adanya pantangan makanan ini merupakan gejala yang hampir universal berkaitan dengan konsepsi "panas-dingin" yang dapat mempengaruhi keseimbangan unsur-unsur dalam tubuh manusia -tanah, udara, api dan air. Apabila unsur-unsur di dalam tubuh terlalu panas atau terlau dingin maka akan menimbulkan penyakit. Untuk mengembalikan keseimbangan unsur-unsur tersebut maka seseorang harus mengkonsumsi makanan atau menjalani pengobatan yang bersifat lebih "dingin" atau sebaliknya. Pada, beberapa suku bangsa, ibu yang sedang menyusui kondisi tubuhnya dipandang dalam keadaan "dingin" sehingga ia harus memakan makanan yang "panas" dan menghindari makanan yang "dingin". Hal sebaliknya harus dilakukan oleh ibu yang sedang hamil (Reddy, 1990).
Menurut Foster dan Anderson (1978: 37), masalah kesehatan selalu berkaitan dengan dua hal yaitu sistem teori penyakit dan sistem perawatan penyakit. Sistemteori penyakit lebih menekankan pada penyebab sakit, teknik-teknik pengobatan pengobatan penyakit. Sementara, sistem perawatan penyakit merupakan suatu institusi sosial yang melibatkan interaksi beberapa orang, paling tidak interaksi antar pasien dengan si penyembuh, apakah itu dokter atau dukun. Persepsi terhadap penyebab penyakit akan menentukan cara pengobatannya. Penyebab penyakit dapat dikategorikan ke dalam dua golongan yaitu personalistik dan naturalistik. Penyakit-penyakit yang dianggap timbul karena adanya intervensi dari agen tertentu seperti perbuatan orang, hantu, mahluk halus dan lain-lain termasuk dalam golongan personalistik. Sementara yang termasuk dalam golongan naturalistik adalah penyakit- penyakit yang disebabkan oleh kondisi alam seperti cuaca, makanan, debu dan lain-lain.
Dari sudut pandang sistem medis moderen adanya persepsi masyarakat yang berbeda terhadap penyakit seringkali menimbulkan permasalahan. Sebagai contoh ada masyarakat pada beberapa daerah beranggapan bahwa bayi yang mengalami kejang- kejang disebabkan karena kemasukan roh halus, dan hanya dukun yang dapat menyembuhkannya. Padahal kejang-kejang tadi mungkin disebabkan oleh demam yang tinggi, atau adanya radang otak yang bila tidak disembuhkan dengan cara yang tepat dapat menimbulkan kematian. Kepercayaan-kepercayaan lain terhadap demam dan diare pada bayi adalah karena bayi tersebut bertambah kepandaiannya seperti sudah mau jalan. Ada pula yang menganggap bahwa diare yang sering diderita oleh bayi dan anak-anak disebabkan karena pengaruh udara, yang sering dikenal dengan istilah "masuk angin". Karena persepsi terhadap penyebab penyakit berbeda-beda, maka pengobatannyapun berbeda-beda. Misalnya, di suatu daerah dianggap bahwa diare ini disebabkan karena "masuk angin" yang dipersepsikan sebagai "mendinginnya" badan anak maka perlu diobati dengan bawang merah karena dapat memanaskan badan si anak.
Sesungguhnya pola pemberian makanan pada anak, etiologi penyakit dan tindakan kuratif penyakit merupakan bagian dari sistem perawaatan kesehatanumum dalam masyarakat (Klienman, 1980). Dikatakan bahwa dalam sistem perawatan kesehatan ini terdapat unsur-unsur pengetahuan dari sistem medis tradisional dan moderen. Hal ini terlihat bila ada anak yang menderita sakit, maka si ibu atau anggota keluarga lain akan melakukan pengobatan sendiri (self treatment) terlebih dahulu, apakah itu dengan menggunakan obat tradisional ataupun obat moderen. Tindakan pemberian obat ini merupakan tindakan pertama yang paling sering dilakukan dalam upaya mengobati penykit dan merupakan satu tahap dari perilaku mencari penyembuhan atau kesehatan yang dikenal sebagai "health seeking behavior". Jika upaya ini tidak berhasil, barulah dicari upaya lain misalnya membawa ke petugas kesehatan seperti dokter, mantri dan lain-lain.

Permasalahan utama yang saat ini masih dihadapi berkaitan dengan kesehatan ibu di Indonesia adalah masih tingginya angka kematian ibu yang berhubungan dengan persalinan. Menghadapi masalah ini maka pada bulan Mei 1988 dicanangkan program Safe Motherhood yang mempunyai prioritas pada peningkatan pelayanan kesehatan wanita terutama paada masa kehamilan, persalinan dan pasca persalinan.
Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketikapersalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante natal care) adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Pacta berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter.
Masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan
kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang
sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi. Pada penelitian yang dilakukan yang dilakukan di RS Hasan Sadikin, Bandung, dan 132 ibu yang meninggal, 69 diantaranya tidak pernah memeriksakan kehamilannya atau baru datang pertama kali pada kehamilan 7 -9 bulan (Wibowo, 1993). Selain dari kurangnya pengetahuan akan pentingnya perawatan kehamilan, permasalahan-permasalahan pada kehamilan dan persalinan dipengaruhi juga oleh faktor nikah pada usia muda yang masih banyak dijumpai di daerah pedesaan. Disamping itu, dengan masih adanya preferensi terhadap jenis kelamin anak khususnya pada beberapa suku, yang menyebabkan istri mengalami kehamilan yang berturut-turut dalam jangka waktu yang relatif pendek, menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi pacta saat melahirkan.
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan- pantangan terhadap beberapa makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Tidak heran kalau anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah pedesaan. Dari data SKRT 1986 terlihat bahwa prevalensi anemia pada wanita hamil di Indonesia sebesar 73,7%, dan angka menurun dengan adanya program-program perbaikan gizi menjadi 33% pada tahun 1995. Dikatakan pula bahwa penyebab utama dari tingginya angka anemia pada wanita hamil disebabkan karena kurangnya zat gizi yang dibutuhkan untuk pembentukan darah.
Di Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Di masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin. Contoh lain di daerah Subang, ibu hamil pantang makan dengan menggunakan piring yang besar karena khawatir bayinya akan besar sehingga akan mempersulit persalinan. Dan memang, selain ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah. Tentunya hal ini sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi. Selain itu, larangan untuk memakan buah-buahan seperti pisang, nenas, ketimun dan lain-lain bagi wanita hamil juga masih dianut oleh beberapa kalangan masyarakat terutama masyarakat di daerah pedesaan. (Wibowo, 1993).
Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau dengan kematian. Sejumlah faktor memandirikan peranan dalam proses ini, mulai dari ada tidaknya faktor resiko kesehatan ibu, pemilihan penolong persalinan, keterjangkauan dan ketersediaan pelayanan kesehatan, kemampuan penolong persalinan sampai sikap keluarga dalam menghadapi keadaan gawat.
Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1992 rnenunjukkan bahwa 65% persalinan ditolong oleh dukun beranak. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktek-praktek persalinan oleh dukun yang dapat membahayakan si ibu. Penelitian Iskandar dkk (1996) menunjukkan beberapa tindakan/praktek yang membawa resiko infeksi seperti "ngolesi" (membasahi vagina dengan rninyak kelapa untuk memperlancar persalinan), "kodok" (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta) atau "nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandardan kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).
Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya disebabkan karena beberapa alasan antara lain dikenal secara dekat, biaya murah, mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari. Disamping itu juga masih adanya keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan yang ada. Walaupun sudah banyak dukun beranak yang dilatih, namun praktek-praktek tradisional tertentu rnasih dilakukan. lnteraksi antara kondisi kesehatan ibu hamil dengan kemampuan penolong persalinan sangat menentukan hasil persalinan yaitu kematian atau bertahan hidup. Secara medis, . penyebab klasik kematian ibu akibat melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia (keracunan kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan. Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya karena penanganan yang kurang baik tepat tetapi juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan dalam keluarga. Umumnya, terutama di daerah pedesaan, keputusan terhadap perawatan medis apa yang akan dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih tua; atau keputusan berada di tangan suami yang seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis yang terjadi.
Kepanikan dan ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat menghambat tindakan yang seharusnya dilakukan dengan cepat. Tidak jarang pula nasehat-nasehat yang diberikan oleh teman atau tetangga mempengaruhi keputusan yang diambil. Keadaan ini seringkali pula diperberat oleh faktor geografis, dimana jarak rumah si ibu dengan tempat pelayanan kesehatan cukup jauh, tidak tersedianya transportasi, atau oleh faktor kendala ekonomi dimana ada anggapan bahwa membawa si ibu ke rumah sakit akan memakan biaya yang mahal. Selain dari faktor keterlambatan dalam pengambilan keputusan, faktor geografis dan kendala ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan disebabkan juga oleh adanya suatu keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tak dapat dihindarkan.
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada masa pasca persalinan. Pantangan ataupun anjuraan ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI; ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula; memasukkan
ramuan-ramuan seperti daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996).

1.2.    Tujuan
Secara mendasar tujuan dari perumusan masalah adalah untuk menentukan dan memahami secara garis besar tentang bagaimana menjaga anak atau balita yang baru lahir dalam masing masing daerah yang berbeda.
Adapun daerah-daerah iyu meluputi daerah jawa,kalimantan dan ntt. Semoga dengan ini dapat lebih memahami secara konseptual tentang permasalahan sosial dan budaya.









BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Tradisi Masyarakat Jawa Ibu melahirkan
Babaran, mbabar dapat diartikan: sudah selesai, sudah menghasilkan dalam wujud yang sempurna. Babaran juga menggambarkan selesaianya proses karya batik tradisional. Istilah babaran juga dipakai untuk seorang ibu yang melahirkan anaknya. Ubarampe yang dibutuhkan untuk selamatan kelahiran adalah Brokohan. Ada macam macam ubarampe Brokohan. Pada jaman ini Brokohan basanya terdiri dari :beras, telur, mie instan kering, gula, teh dan sebagainya. Namun jika dikembalikan kepada makna yang terkandung dalam selamatan bayi lahir, brokohan cukup dengan empat macam ubarampe saja yaitu:
   1. kelapa, dapat utuh atau cuwilan
   2. gula merah atau gula Jawa
   3. dawet
   4. telor bebek
Makna dari keempat macam ubarampe tersebut adalah:
Kelapa: daging kelapa yang berwarna putih adalah manifestasi dari sukra (bahasa Jawa kuna) yaitu sperma, benihnya laki-laki, bapak
Gula Jawa: berwarna merah adalah manifestasi dari swanita (bahasa Jawa kuna) yaitu sel telur, benihnya wanita, ibu.
Dawet : dawet terdiri dari tiga bahan yaitu:
   1. santan kelapa, berwarna putih wujud dari sperma, benihnya Bapak.
   2. juruh dari gula Jawa yang berwarna merah wujud dari sel telur, benihnya Ibu.
   3. cendol dari tepung beras manifestasi dari jentik-jentik kehidupan.
Telor bebek. Ada dua alasan mengapa memakai telor bebek, tidak memakai telor ayam.
Alasan yang pertama: telor bebek kulitnya berwarna biru, untuk menggambarkan langit biru, alam awang-uwung, kuasa dari atas.
Alasan kedua: biasanya telur bebek dihasilkan dari pembuahan bebek jantan tidak dari endog lemu atau bertelur karena faktor makanan. Dengan demikian telor bebek kalau diengrami dapat menetas, artinya bahwa ada roh kehidupan di dalam telor bebek.
Melalui keempat macam ubarampe untuk selamatan bayi lahir tersebut, para leluhur dahulu ingin menyatakan perasaannya yang dipenuhi rasa sukur karena telah mbabar seorang bayi dalam proses babaran.
Keempat ubarampe yang dikemas dalam selamatan Brokohan tersebut mampu menjelaskan bahwa Tuhan telah berkenan mengajak kerjasama kepada Bapak dan Ibu untuk melahirkan ciptaan baru, mbabar putra.
Melalui proses bersatunya benih bapak (kelapa) dan benihnya Ibu (gula Jawa) yang kemudian membentuk jentik-jentik kehidupan, (dawet) Tuhan telah meniupkan roh kehidupan (telor bebek) dan terjadilah kelahiran ciptaan baru (brokohan)
Jika pun dalam perkembangannya selamatan Brokohan untuk mengiring kelahiran bayi menjadi banyak macam, terutama bahan-bahan mentah, hal tersebut dapat dipahami sebagai ungkapan rasa syukur yang ingin dibagikan dari keluarga kepada para kerabat dan tetangga.. Namun keempat ubarampe yang terdiri dari kelapa, gula Jawa, dawet dan telor bebek, masih perlu untuk disertakan dan direnungkan, agar kelahiran manjadi lebih bermakna.empat.
Dalam budaya Jawa, kelahiran seorang anak manusia ke dunia, selain merupakan anugerah yang sangat besar, juga mempunyai makna tertentu. Oleh karena itu, pada masa mengandung bayi hingga bayi lahir, masyarakat Jawa mempunyai beberapa uapacara adat untuk menyambut kelahiran bayi tersebut. Upacara-upacara tersebut antara lain adalah mitoni, upacara mendhem ari-ari, brokohan, upacara puputan, sepasaran dan selapanan.
Selapanan dilakukan 35 hari setelah kelahiran bayi. Pada hari ke 35 ini, hari lahir si bayi akan terulang lagi. Misalnya bayi yang lahir hari Rabu Pon (hari weton-nya), maka selapanannya akan jatuh di Hari Rabu Pon lagi. Pada penanggalan Jawa, yang berjumlah 5 (Wage, Pahing, Pon, Kliwon, Legi) akan bertemu pada hari 35 dengan hari di penanggalan masehi yang berjumlah 7 hari. Logikanya, hari ke 35, maka akan bertemu angka dari kelipatan 5 dan 7. Di luar logika itu, selapanan mempunyai makna yang sangat kuat bagi kehidupan si bayi. Berulangnya hari weton bayi, pantas untuk dirayakan seperti ulang tahun. Namun selapanan utamanya dilakukan sebagai wujud syukur atas kelahiran dan kesehatan bayi.
Yang pertama dilakukan dalam rangkaian selapanan, adalah potong rambut atau parasan. Pemotongan rambut pertama-tama dilakukan oleh ayah dan ibu bayi, kemudian dilanjutkan oleh sesepuh bayi. Di bagian ini aturannya, rambut bayi dipotong habis. Potong rambut ini dilakukan untuk mendapatkan rambut bayi yang benar-benar bersih, diyakini rambut bayi asli adalah bawaan dari lahir, yang masih terkena air ketuban. Alasan lainnya adalah supaya rambut bayi bisa tumbuh bagus, oleh karena itu rambut bayi paling tidak digunduli sebanyak 3 kali. Namun pada tradisi potong rambut ini, beberapa orang ada yang takut untuk menggunduli bayinya, maka pemotongan rambut hanya dilakukan seperlunya, tidak digundul, hanya untuk simbolisasi.
Setelah potong rambut, dilakukan pemotongan kuku bayi. Dalam rangkaian ini, dilakukan pembacaan doa-doa untuk keselamatan dan kebaikan bayi dan keluarganya. Upacara pemotongan rambut bayi ini dilakukan setelah waktu salat Maghrib, dan dihadiri oleh keluarga, kerabat, dan tetangga terdekat, serta pemimpin doa.
Acara selapanan dilakukan dalam suasana yang sesederhana mungkin. Sore harinya, sebelum pemotongan rambut, masyarakat merayakan selapanan biasanya membuat bancaan yang dibagikan ke kerabat dan anak-anak kecil di seputaran tempat tinggalnya. Bancaan mengandung makna agar si bayi bisa membagi kebahagiaan bagi orang di sekitarnya.
Adapun makanan wajib yang ada dalam paket bancaan, yaitu nasi putih dan gudangan, yang dibagikan di pincuk dari daun pisang. Menurut Mardzuki, seorang ustadz yang kerap mendoakan acara selapanan, sayuran yang digunakan untuk membuat gudangan, sebaiknya jumlahnya ganjil, karena dalam menurut keyakinan, angka ganjil merupakan angka keberuntungan. Gudangan juga dilengkapi dengan potongan telur rebus atau telur pindang, telur ini melambangkan asal mulanya kehidupan. Selain itu juga beberapa sayuran dianggap mengandung suatu makna tertentu, seperti kacang panjang, agar bayi panjang umur, serta bayem, supaya bayi hidupanya bisa tentram.

2.2. Tradisi Masyarakat Kalimantan Ibu melahirkan

Menjelang persalinan membutuhkan beberapa perlengkapan khusus, demikian pula bagi Suku Dayak ada beberapa perlengkapan suku dayak menjelang persalinan atau proses melahirkan yang harus dipersiapkan sedemikian rupa untuk menggelar beberapa ritual atau upacara adat suku Dayak dalam menjelang dan menyambut kelahiran seorang bayi.
Kultur budaya suku Dayak Kalimantan Tengah menempatkan kaum wanita pada derajat yang tinggi. Tak heran, kedudukan wanita dalam masyarakat dayak memang spesial, kaum perempuan selalu mendapatkan perhatian penuh, terlebih saat proses menjelang persalinan.
Fase Melahirkan dalam budaya Suku Dayak mengisyaratkan perlunya sejumlah persiapan termasuk persiapan perlengkapan suku dayak menjelang persalinan. Pada proses jelang melahirkan bayi atau Awau, sang calon ibu dibaringkan pada sebuah dipan kecil dengan posisi miring terbuat dari kayu yang disebut Sangguhan dengan motif ukiran Dayak di masing-masing sisi.
Kemudian saat melahirkan, disiapkan pula Botol Mau sebagai tempat untuk menungku perut ibu agar darah kotor cepat keluar. Selain sebagai perlengkapan suku dayak menjelang persalinan Botol Mau ini juga digunakan untuk menyiman air panas.
Selanjutnya, keluarga yang melahirkan juga perlu menyiapkan Kain Bahalai (Jarik dalam bahasa Jawa) dengan lapisan yang berbeda. Tujuh lapis kain bahalai saat menyambut bayi laki-laki dan lima lapis kain bahalai untuk bayi dengan jenis kelamin perempuan. Walaupun sebagai peralatan penunjang, keberadaannya dalam persiapan prosesi persalinan menurut budaya Suku Dayak mutlak diperlukan.
Pada fase ketika bayi telah lahir, maka tali pusar atau ari-ari bayi dipotong menggunakan sebuah sembilu. Untuk tahap pertama dan pemotongan terakhir ari-ari dengan uang ringgit. Kedua perlengkapan suku dayak menjelang persalinan tersebut disiapkan sejak awal dalam sebuah piring atau Paraten. Sedangkan ari-ari yang terpotong tadi disimpan di dalam Kusak Tabuni.


Bayi (awau) yang baru lahir dimandikan dalam Kandarah, dan popok bayi yang digunakan disimpan dalam Saok. Bagi sang ibu setelah melahirkan biasa menggunakan Stagen (Babat Kuningan) untuk mengikat perut agar mengembalikan perut ibu ke kondisi semula dengan cepat. Tentunya untuk menjaga tubuh ibu setelah melahirkan dan juga berfungsi untuk berjaga-jaga dalam kondisi yang tidak terduga seperti sulitnya bayi keluar, masyarakat Dayak memiliki cara yang khas dan bernuansa magis, yakni menggunakan buah kelapa yang bertunas untuk kemudian disentuhkan ke arah selaput bayi. Tujuan perlengkapan suku dayak menjelang persalinan tersebut adalah agar dapat membuka ruang sehingga bayi dapat keluar dengan mudah.

2.3. Tradisi Masyarakat NTT Ibu melahirkan
Proses melahirkandengan di urut oleh seseorang yang diangap ahli,Setelah ada kelahiran bayi diadakan upacara atau ritual selamatan
Perlakuan masyarakat Nusa Tenggara Timur terhadap ari-ari
1.Tali pusar dipotong menggunakan kulit babmbu.
2. Ditaruh sekitar 3 bulan di atas perapian sampai kering.
3. Selanjutnya di tanam di sertai doa dan alat-tulis.



BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Bahagianya! Bayi telah lahir, perayaan tanda gembira dan syukur pun digelar. Apa sebenarnya makna dari perayaan-perayaan itu?  
Hadirnya anggota keluarga baru dalam keluarga memang memiliki arti yang besar. Masyarakat Indonesia biasanya menyambut kehadiran bayi dalam suatu rangkaian perayaan. Aneka perayaan sarat makna itu semata-mata bermaksud memperingati tahap-tahap awal kehidupan seorang anak. Berikut ini upacara menyambut kelahiran yang dilakukan beberapa suku di Indonesia dan harapan yang menyertainya:
Umur panjang dan pintar. Masyarakat Bali memiliki upacara kelahiran yang disebut dengan Jatakarma Samskara. Upacara ini berisi doa-doa agar bayi punya masa depan yang baik. Sang ayah diminta menyentuh dan mencium bayinya yang baru lahir, sambil membacakan mantra pemberkatan di telinga, menyampaikan harapan agar bayi berumur panjang dan menjadi anak pintar. 
Nama cocok, masa depan baik. Nasib baik sang bayi dipercaya ditentukan juga oleh namanya. Orang Sasak dari Lombok percaya, nama yang tidak cocok mengundang nasib buruk. Pemberian nama tidak dilakukan sembarangan, sehingga orang tua biasanya berkonsultasi dengan Pemangku atau Kiai. Bahkan masyarakat Dayak Kenyah di Kalimantan Timur mengadakan dua kali upacara pemberian nama untuk sang bayi.
Harapan pada tali pusat. Bagi masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, lokasi menanam tali pusat  menentukan masa depan bayi. Bila ingin bayi tumbuh menjadi orang besar, maka tali pusat ditanam di bawah pohon, di bawah bunga-bungaan agar kelak namanya harum, atau dihanyutkan ke sungai bila ingin anak menjadi pelaut. Namun bila tali pusat diikat di pohon, itu tandanya orang tua tidak ingin anak pergi merantau. Masyarakat Banjar juga mempercayai tali pusat bayi yang ditanam bersama tali pusat  kakak atau adiknya, membuat mereka hidup rukun, tidak mudah bertengkar.
Sayang saudara. Masyarakat Jawa memaknai kerukunan dari tahapan proses kelahiran bayi. Mereka mengenal istilah kakang kawah untuk air ketuban yang pecah, bocah untuk menyebut si bayi dan adhi ari-ari untuk tali pusat. Istilah tersebut menunjukkan adanya ikatan persaudaraan dengan pengertian bahwa bayi tidak dilahirkan sendirian, melainkan bersama saudara yang lain sehingga jika dia besar nanti, ia harus menyayangi saudaranya.
Tak diganggu makhluk gaib. Tak sedikit upacara diadakan untuk menghindari gangguan makhluk gaib. Upacara Basuh Lantai, yang dilakukan masyarakat Daik-Lingga di Kepulauan Riau, yang meyakini ada makhluk halus menghuni lantai yang akan terganggu saat proses kelahiran. Bila tidak diadakan upacara, bisa menimbulkan malapetaka. 
Upacara kelahiran yang dilakukan masyarakat Jawa juga sarat simbol-simbol yang bermakna perlindungan untuk sang buah hati dari gangguan makhluk halus. Tumbak sewu, yakni sapu lidi yang diberi bawang dan cabe, diletakkan di dekat tempat tidur bayi untuk menolak makhluk gaib yang datang. Sementara daun nanas yang diolesi hitam putih menyerupai ular welang, dianggap dapat menakut-nakuti makhluk jahat yang ingin memasuki kamar bayi.
Sehat fisik. Masyarakat Betawi memiliki kebiasaan membedong bayi yang baru lahir agar tubuhnya tidak mudah terkilir saat digendong. Lain halnya dengan masyarakat Kalimantan. Mereka sering mengayun-ayun bayi dalam keadaan dibedong, dalam posisi berdiri, yang ternyata baik untuk menyangga leher bayi.
Mengasuh optimal. Bagi masyarakat Aceh, ibu yang baru melahirkan harus mengalami masa pantangan “du dapu” sejak bayi lahir hingga bayi berusia 44 hari. Ibu harus selalu ada di kamar, tidak boleh berjalan-jalan, apalagi keluar rumah. Rupanya pantangan tersebut dimaksud agar bayi mendapat perawatan dan perhatian maksimal dari ibunya.
Di Maluku tengah berlaku pantangan lain. Ibu pantang makan cabai karena akan membuat mata bayi berair terus-menerus. Juga dilarang makan ikan karena akan membuat ASI amis. Pandangan ini justru keliru, karena ibu yang baru melahirkan justru membutuhkan asupan nutrisi yang lengkap. Walaupun begitu, makna yang  bisa kita ambil adalah bahwa ibu dan bayi memiliki ikatan. Apa yang ibu lakukan akan berpengaruh bagi bayi.
Namun semuanya kembali kepada Anda masing-masing, apakah Anda masih percaya hal-hal semacam itu atau tidak. Apapun, semua hal yang orang tua lakukan, merupakan bentuk perlambang kasih sayang pada si buah hati, menunjukkan kalau orang tua mau menyayangi dan melindungi bayinya dan tidak ingin hal-hal buruk terjadi.

OPTIKA GEOMETRI

BAB I
OPTIKA GEOMETRIK

1.1. Pengertian optik
Optik adalah cabang fisika yang menggambarkan kelakuan dan sifat cahaya dan interaksi cahaya dengan materi. Optik menerangkan dan diwarnai oleh gejala optik.
Bidang optik biasanya menggambarkan sifat cahaya tampak, inframerah dan ultraviolet; tetapi karena cahaya adalah gelombang elektromagnetik, gejala yang sama juga terjadi di sinar-X, gelombang mikro, gelombang radio, dan bentuk lain dari radiasi elektromagnetik.
Di ruang bebas suatu gelombang berjalan pada kecepatan c = 3x108 m/s. Ketika memasuki medium tertentu (dielectric atau nonconducting) gelombang berjalan dengan suatu kecepatan v, yang mana adalah karakteristik dari bahan dan kurang dari besarnya kecepatan cahaya itu sendiri (c). Perbandingan kecepatan cahaya didalam ruang hampa dengan kecepatan cahaya di medium adalah indeks bias n bahan sebagai berikut : n = c/v
1.2. OPTIKA GEOMETRIK
Optika geometris atau optika sinar menjabarkan perambatan cahaya sebagai vektor yang disebut sinar. Sinar adalah sebuah abstraksi atau "instrumen" yang digunakan untuk menentukan arah perambatan cahaya. Sinar sebuah cahaya akan tegak lurus dengan muka gelombang cahaya tersebut, dan ko-linear terhadap vektor gelombang.
Menurut prinsip Fermat, jarak yang ditempuh sebuah sinar antara dua buah titik, adalah jarak tempuh terpendek dan tercepat. Sebelumnya, pada tahun 60, Heron dari Alexandria, seorang matematikawan berkebangsaan Yunani yang tinggal di salah satu propinsi Roma, Ptolemaic Egypt, menjelaskan prinsip refleksi sinar cahaya dengan jarak tempuh terkecil dalam medium dengan beberapa cermin datar. Ibn al-Haytham, dalam bukunya Kitab al-Manazir atau Book of Optics pada tahun 1021 memperluas prinsip Heron untuk refleksi dan refraksi dan menetapkan versi pertama principle of least time dengan definisi sinar sebagai aliran partikel energi yang merambat dengan kecepatan konstan pada jarak tempuh yang lurus dengan radiasi ke segala arah. Hanya satu sinar yang terlihat yaitu sinar dengan radiasi tegak lurus terhadap arah pandang mata. Penyederhanaan principle of least time ditulis oleh Pierre de Fermat pada suratnya ke Cureau de la Chambre tertanggal 1 Januari 1662, segera mendapat sanggahan oleh Claude Clerselier, seorang ahli optika dan juru bicara ternama golongan Cartesian pada bulan Mei 1662.
Pada masa kini, definisi prinsip Fermat menambahkan jarak tempuh sinar yang stasioner.
Optika geometris menjelaskan sifat cahaya dengan pendekatan paraksial atau hampiran sudut kecil dengan penjabaran matematis yang linear, sehingga komponen optik dan sistem kerja cahaya seperti ukuran, posisi, pembesaran subyek yang dijelaskan menjadi lebih sederhana, diantaranya dengan teknik optik Gaussian dan penelusuran sinar paraksial. Cahaya didefinisikan sebagai partikel yang merambat, yang disebut sinar. Ali Sina Balkhi (980–1037), juga mengatakan bahwa the perception of light is due to the emission of some sort of particles by a luminous source. Pierre Gassendi pada tahun 1660 membuat proposal teori partikel cahaya. Isaac Newton mempelajari teori Gassendi dan teori plenum Descartes. Pada tahun 1675, Newton dalam buku Hypothesis of Light membuat Corpuscular theory of Light yang direvisi hingga tahun 1704 dalam bukunya Opticks, yang menerangkan fenomena refleksi dan refraksi cahaya dengan asumsi cepat rambat yang lebih tinggi ketika cahaya melalui medium yang padat tumpat karena daya tarik gravitasi yang lebih kuat. Teori ini mengilhami Pierre Simon marquis de Laplace dengan hipotesa lobang hitam, sebuah benda yang sangat padat hingga cahaya pun tidak dapat lepas dari padanya. Laplace menarik hipotesanya saat teori gelombang optik fisis bermunculan. Essay Laplace kemudian dikembangkan oleh Stephen Hawking dan George F.R. Ellis dalam buku The large scale structure of space-time.

Diagram refleksi sinar cahaya spekular
Refleksi atau pantulan cahaya terbagi menjadi 2 tipe: specular reflection dan diffuse reflection. Specular reflection menjelaskan perilaku pantulan sinar cahaya pada permukaan yang mengkilap dan rata, seperti cermin yang memantulkan sinar cahaya ke arah yang dengan mudah dapat diduga. Kita dapat melihat citra wajah dan badan kita di dalam cermin karena pantulan sinar cahaya yang baik dan teratur. Menurut hukum refleksi untuk cermin datar, jarak subyek terhadap permukaan cermin berbanding lurus dengan jarak citra di dalam cermin namun parity inverted, persepsi arah kiri dan kanan saling terbalik. Arah sinar terpantul ditentukan oleh sudut yang dibuat oleh sinar cahaya insiden terhadap normal permukaan, garis tegak lurus terhadap permukaan pada titik temu sinar insiden. Sinar insiden dan pantulan berada pada satu bidang dengan masing-masing sudut yang sama besar terhadap normal.
Citra yang dibuat dengan pantulan dari 2 (atau jumlah kelipatannya) cermin tidak parity inverted. Corner retroreflector memantulkan sinar cahaya ke arah datangnya sinar insiden.[9]
Diffuse reflection menjelaskan pemantulan sinar cahaya pada permukaan yang tidak mengkilap (Inggris:matte) seperti pada kertas atau batu. Pantulan sinar dari permukaan semacam ini mempunyai distribusi sinar terpantul yang bergantung pada struktur mikroskopik permukaan. Johann Heinrich Lambert dalam Photometria pada tahun 1760 dengan hukum kosinus Lambert (atau cosine emission law atau Lambert's emission law) menjabarkan intensitas radian luminasi sinar terpantul yang proposional dengan nilai kosinus sudut θ antara pengamat dan normal permukaan Lambertian dengan persamaan:
 photons/(s•cm2•sr)
Refraksi


Illustrasi hukum Snellius untuk n1 < n2, seperti pada antarmuka udara/air. θ1 dan θ2 adalah sudut kritis bias dimana sinar merah merambat menurut prinsip Fermat dan membentuk jendela Snellius. Pada sudut yang lebih besar terjadi total internal reflection sedangkan pada sudut yang lebih kecil, cahaya akan merambat lurus.
Ketika gelombang elektromagnetik menyentuh permukaan medium dielektrik dari suatu sudut, leading edge gelombang tersebut akan melambat sementara trailing edgenya tetap melaju normal. Penurunan kecepatan leading edge disebabkan karena interaksi dengan elektron dalam medium tersebut. Saat leading edge menumbuk elektron, energi gelombang tersebut akan diserap dan kemudian diradiasi kembali. Penyerapan dan re-radiasi ini menimbulkan keterlambatan sepanjang arah perambatan gelombang. Kedua hal tersebut menyebabkan perubahan arah rambat gelombang yang disebut refraksi atau pembiasan. Perubahan arah rambat gelombang cahaya dapat dihitung dari indeks bias berdasarkan hukum Snellius:

dimana:
•    θ1 dan θ2 adalah sudut antara normal dengan masing-masing sinar bias dan sinar insiden
•    n1 dan n2 adalah indeks bias masing-masing medium
•    v1 dan v2 adalah kecepatan gelombang cahaya dalam masing-masing medium


Letak bayangan benda akibat proses refraksi pada lensa
Perhitungan letak bayangan pada lensa dan cermin akan mengikuti:

di mana
S1 adalah jarak objek/benda dari lensa/cermin
S2 adalah jarak bayangan benda dari lensa/cermin
f adalah jarak fokus = R/2.
Rumus perhitungan untuk perbesaran bayangan, M:

di mana tanda negatif menyatakan objek yang terbalik (objek yang berdiri tegak memakai tanda positif).
Hukum Snellius juga disebut Hukum pembiasan atau Hukum sinus dikemukakan oleh Willebrord Snellius pada tahun 1621 sebagai rasio yang terjadi akibat prinsip Fermat. Pada tahun 1637, René Descartes secara terpisah menggunakan heuristic momentum conservation in terms of sines dalam tulisannya Discourse on Method untuk menjelaskan hukum ini. Cahaya dikatakan mempunyai kecepatan yang lebih tinggi pada medium yang lebih padat karena cahaya adalah gelombang yang timbul akibat terusiknya plenum, substansi kontinu yang membentuk alam semesta.

















BAB II
BAYANGAN
2.1. Pengertian Bayangan
Bayang-bayang terjadi apabila cahaya terhalang sesuatu, maka terbentuklah bayang-bayang.
Cahaya merambat dalam garis lurus. Bila cahaya terhalang sesuatu maka akan timbulah bayangan. Jika sumber cahayanya lemah, seperti matahari pada hari berawan, bayangan tidak kentara. Ditempat teduh tidak ada bayang-bayang, karena tempat teduh sudah merupakan bayangan sebuah benda yang menghalangi sinar matahari.
Besar-kecil bayangan
Apabila suatu benda bergerak mendekati cahaya, bayang-bayang benda tersebut membesar karena benda tersebut menghalangi cahaya menjadi lebih besar, maka bayang-bayang yang timbul pun akan menjadi makin besar. Dan apabila benda menjauhi cahaya, bayang-bayang benda itupun menjadi kecil karena benda tersebut hanya menjadi penghalang yang semakin kecil.
2.2. Bayangan Cermin



Dalam sebuah cermin bidang, berkas sinar yang sejajar mengalami perubahan arah secara keseluruhan, tapi masih tetap sejajar; bayangan terbentuk di sebuah cermin bidang merupakan bayangan maya, yang besarnya sama dengan objek aslinya. Ada pula cermin lengkung, dimana seberkas cahaya sejajar menjadi seberkas cahaya yang konvergen, yang sinarnya berpotongan dalam fokus (titik imagi) cermin. Yang terakhir adalah cermin cembung, dimana sebuah sinar yang sejajar menjadi tersebar (divergen), dengan sinar tersebar dari sebuah titik perpotongan "di belakang" cermin. Kekurangan dari lensa cekung yang berbentuk bola serta cermin cembung adalah tak bisa mengfokuskan sinar sejajar ke sebuah titik tunggal dalam kaitan dengan lanturan (aberasi) sferis. Reflektor parabola mengatasi masalah ini dengan membuat sinar sejajar yang datang (misalnya, cahaya dari sebuah bintang yang jauh) untuk difokuskan ke sebuah titik yang kecil; mendekati suatu titik yang ideal. Reflektor parabola tak cocok untuk mencitrakan benda terdekat karena sinar cahaya yang tidak sejajar.

Seberkas cahaya yang terpantul di cermin pada sebuah sudut pantul yang sama dengan sudut datang (jika ukuran sebuah cermin jauh lebih besar dari panjang gelombang cahaya). Jika berkas cahaya mendatangi permukaan cermin pada sudut 30° dari vertikal, lalu terpantul dari sudut datang dengan sudut 30° dari vertikal dalam arah yang berlawanan.

Hukum ini secara matematis menuruti interferensi sebuah gelombang bidang di sebuah batas datar.

Untuk benda nyata maupun benda maya berlaku persamaan


Cermin Datar   

s = - s'

y = y'

M = | y'/y | = +1

s = jarak benda
s' = jarak bayangan
y = tinggi benda
y' = tinggi bayangan

 Untuk mendapatkan bayangan yang terbentuk pada cermin cekung/cembung diperlukan sinar-sinar istimewa, yaitu:

Sinar datang sejajar sumbu utama, dipantulkan melalui/seolah-olah dari titik fokus.
Sinar datang melalui/menuju titik fokus dipantulkan sejajar sumbu utama.
Sinar datang melalui/menuju titik pusat kelengkungan dipantulkan melalui titik pusat juga.


Rumus yang berlaku untuk cermin cekung den cermin cembung adalah

f = R / 2

1/f = 1/s + 1/s'

M = |y' / y | = |s' / s |

Dengan :

R = jari-jari kelengkungan
f = fokus (jarak titik api)
M= pembesaran bayangan

Bayangan yang terbentuk selalu maya, tegak dan diperkecil.


DUA BUAH CERMIN ATAU DUA BUAH LENSA BERHADAPAN

Prinsip dua cermin sama dengan dua lensa yaitu bayangan yang dihasilkan dari cermin 1 merupakan benda untuk cermin 2, sehingga:

d = s1' + s2

Mtot = | (s1'/s1) x (s2'/s2) |

d = jarak kedua cermin/lensa
s1' = jarak bayangan 1 ke cermin/lensa 1
s2 = jarak benda 2 ke cermin/lensa




2.3. Bayangan Lensa / Kanta

Kanta atau sering disebut lensa adalah sebuah alat untuk mengumpulkan atau menyebarkan cahaya, biasanya dibentuk dari sepotong gelas yang dibentuk.

Kanta sederhana
 

Kanta sederhana atau sering disebut kanta saja adalah sebuah kanta tunggal speris.

Kanta sederhana dibedakan berdasarkan kelengkungan kedua bidang antarmukanya. Sebuah kanta cembung mempunyai dua bidang antarmuka yang cembung, kanta dengan dua bidang cekung disebut kanta .Jika salah satu bidang antarmuka datar (mempunyai radius yang tak berhingga), maka kanta tersebut disebut kanta plano cembung atau kanta plano cekung. Kanta cembung cekung mempunyai satu bidang antarmuka cekung dan satu bidang antarmuka cembung, juga sering disebut kanta meniscus.
Kanta sederhana sangat rentan terhadap aberasi kromatik dan aberasi optis lainnya.



Kanta cembung


Pada kanta cembung, sinar yang merambat melalui kedua antarmuka akan dibiaskan (terfokus) menuju ke satu titik pada sumbu optis kanta, yang disebut jarak fokus (en:focal length). Kanta cembung dalam bahasa Inggris juga disebut positive lens atau converging lens. Kanta cembung membentuk focal point pada sisi berlawanan dengan persamaan lens maker





di mana:

S2 adalah jarak citra dan sesuai konvensi, bernilai negatif pada sisi yang sama dengan subyek
f adalah 'rentang focal, bernilai negatif untuk lensa concave



Kanta cekung

Pada kanta cekung, sinar yang merambat akan dibiaskan menjauhi sumbu optis kanta dengan proyeksi imajiner sinar menuju ke satu titik,













BAB III
PEMBIASAN


Pembiasan cahaya

Pembiasan cahaya adalah pembelokan cahaya ketika berkas cahaya melewati bidang batas dua medium yang berbeda indeks biasnya. Indeks bias mutlak suatu bahan adalah perbandingan kecepatan cahaya di ruang hampa dengan kecepatan cahaya di bahan tersebut. Indeks bias relatif merupakan perbandingan indeks bias dua medium berbeda. Indeks bias relatif medium kedua terhadap medium pertama adalah perbandingan indeks bias antara medium kedua dengan indeks bias medium pertama. Pembiasan cahaya menyebabkan kedalaman semu dan pemantulan sempurna.

1. Persamaan indeks bias mutlak



2. Hukum Pembiasan Cahaya



Lensa adalah peralatan sangat penting dalam kehidupan manusia. Mikroskop menggunakan susunan lensa untuk melihat jasad-jasad renik yang tak terlihat oleh mata telanjang. Kamera menggunakan susunan lensa agar dapat merekam obyek dalam film. Teleskop juga memanfaatkan lensa untuk melihat bintang-bintang yang jaraknya jutaan tahun cahaya dari bumi.

Kuat lensa berkaitan dengan sifat konvergen (mengumpulkan berkas sinar) dan divergen (menyebarkan sinar) suatu lensa. Untuk Lensa positif, semakin kecil jarak fokus, semakin kuat kemampuan lensa itu untuk mengumpulkan berkas sinar. Untuk Lensa negatif, semakin kecil jarak fokus semakin kuat kemampuan lensa itu untuk menyebarkan berkas sinar. Oleh karenanya kuat lensa didefinisikan sebagai kebalikan dari jarak fokus.



Rumus Kuat Lensa


Pembentukan Bayangan Pada Lensa


Cahaya dipesongkan apabila bergerak secara serong melalui medium yang berbeza seperti melalui udara melalui kaca melalui air. Keadaan ini disebut sebagai pembiasan cahaya. Cahaya bergerak lebih laju melalui udara daripada melalui air. Cahaya juga bergerak lebih laju melalui udara daripada melalui kaca. Oleh itu cahaya yang bergerak secara serong dipesongkan apabila melalui dua medium yang berbeza. Cahaya yang bergerak lurus melalui medium yang berbeza tidak dibiaskan.

Pembiasan cahaya menyebabkan penyedut minuman kelihatan bengkok dan lebih besar di dalam air, dan juga dasar kolam kelihatan lebih cetek dari kedalaman sebenarnya.


































Alat Optik

Cermin dan lensa serta prinsip kerjanya memberikan sarana pemahaman bagi pemanfaatannya untuk mempermudah dan membantu kehidupan manusia. Alat-alat yang bekerja berdasarkan prinsip optik (cermin dan lensa) digolongkan sebagai alat optik.

Mata

Salah satu alat optik alamiah yang merupakan salah satu anugerah dari Sang Pencipta adalah mata. Di dalam mata terdapat lensa kristalin yang terbuat dari bahan bening, berserat, dan kenyal. Lensa kristalin atau lensa mata berfungsi mengatur pembiasan yang disebabkan oleh cairan di depan lensa. Cairan ini dinamakan aqueous humor. Intensitas cahaya yang masuk ke mata diatur oleh pupil.



Bagian-bagian mata

Cahaya yang masuk ke mata difokuskan oleh lensa mata ke bagian belakang mata yang disebut retina. Bentuk bayangan benda yang jatuh di retina seolah-olah direkam dan disampaikan ke otak melalui saraf optik. Bayangan inilah yang sampai ke otak dan memberikan kesan melihat benda kepada mata. Jadi, mata dapat melihat objek dengan jelas apabila bayangan benda (bayangan nyata) terbentuk tepat di retina.

Lensa mata merupakan lensa yang kenyal dan fleksibel yang dapat menyesuaikan dengan objek yang dilihat. Karena bayangan benda harus selalu difokuskan tepat di retina, lensa mata selalu berubah-ubah untuk menyesuaikan objek yang dilihat. Kemampuan mata untuk menyesuaikan diri terhadap objek yang dilihat dinamakan daya akomodasi mata.



daya akomodasi mata

Saat mata melihat objek yang dekat, lensa mata akan berakomodasi menjadi lebih cembung agar bayangan yang terbentuk jatuh tepat di retina. Sebaliknya, saat melihat objek yang jauh, lensa mata akan menjadi lebih pipih untuk memfokuskan bayangan tepat di retina.

Titik terdekat yang mampu dilihat oleh mata dengan jelas disebut titik dekat mata (punctum proximum/PP). Pada saat melihat benda yang berada di titik dekatnya, mata dikatakan berakomodasi maksimum. Titik dekat mata disebut juga dengan jarak baca normal karena jarak yang lebih dekat dari jarak ini tidak nyaman digunakan untuk membaca dan mata akan terasa lelah. Jarak baca normal atau titik dekat mata adalah sekitar 25 cm.

Adapun, titik terjauh yang dapat dilihat oleh mata dengan jelas disebut titik jauh mata (punctum remotum/PR). Pada saat melihat benda yang berada di titik jauhnya, mata berada dalam kondisi tidak berakomodasi. Jarak titik jauh mata normal adalah di titik tak hingga (~).

Rabun Jauh dan Cara Memperbaikinya

Orang yang menderita rabun jauh atau miopi tidak mampu melihat dengan jelas objek yang jauh tapi tetap mampu melihat dengan jelas objek di titik dekatnya (pada jarak 25 cm). titik jauh mata orang yang menderita rabun jauh berada pada jarak tertentu (mata normal memiliki titik jauh tak berhingga).

Rabun jauh dapat diperbaiki dengan menggunakan lensa divergen yang bersifat menyebarkan (memencarkan) sinar. Lensa divergen atau lensa cekung atau lensa negatif dapat membantu lensa mata agar dapat memfokuskan bayangan tepat di retina.



miopi dikoreksi menggunakan lensa negatif

Jarak fokus lensa dan kuat lensa yang digunakan untuk memperbaiki mata yang mengalami rabun jauh dapat ditentukan berdasarkan persamaan lensa tipis dan rumus kuat lensa.

Di sini jarak s adalah jarak tak hingga (titik jauh mata normal), dan s’ adalah titik jauh mata (PR). Prinsip dasarnya adalah lensa negatif digunakan untuk memindahkan (memajukan) objek pada jarak tak hingga agar menjadi bayangan di titik jauh mata tersebut sehingga mata dapat melihat objek dengan jelas.

Rabun Dekat dan Cara Memperbaikinya

Orang yang menderita rabun dekat atau hipermetropi tidak mampu melihat dengan jelas objek yang terletak di titik dekatnya tapi tetap mampu melihat dengan jelas objek yang jauh (tak hingga). Titik dekat mata orang yang menderita rabun dekat lebih jauh dari jarak baca normal (PP > 25 cm).

Cacat mata hipermetropi dapat diperbaiki dengan menggunakan lensa konvergen yang bersifat mengumpulkan sinar. Lensa konvergen atau lensa cembung atau lensa positif dapat membantu lensa mata agar dapat memfokuskan bayangan tepat di retina.

hipermetropi dikoreksi menggunakan lensa positif

Jarak fokus lensa dan kuat lensa yang digunakan untuk memperbaiki mata yang mengalami hipermetropi dapat ditentukan berdasarkan persamaan lensa tipis dan rumus kuat lensa.

Di sini jarak s adalah jarak titik dekat mata normal (25 cm), dan s’ adalah titik dekat mata (PP). Prinsip dasarnya adalah lensa positif digunakan untuk memindahkan (memundurkan) objek pada jarak baca normal menjadi bayangan di titik dekat mata tersebut sehingga mata dapat melihat objek dengan jelas.

Kaca Pembesar

Kaca pembesar atau lup digunakan untuk melihat benda kecil yang tidak bisa dilihat dengan mata secara langsung. Lup menggunakan sebuah lensa cembung atau lensa positif untuk memperbesar objek menjadi bayangan sehingga dapat dilihat dengan jelas.

Bayangan yang dibentuk oleh lup bersifat maya, tegak, dan diperbesar. Untuk mendapatkan bayangan semacam ini objek harus berada di depan lensa dan terletak diantara titik pusat O dan titik fokus F lensa. untuk menghasilkan bayangan yang diinginkan, lup dapat digunakan dalam dua macam cara, yaitu dengan mata berakomodasi maksimum dan dengan mata tidak berakomodasi.

Lup dapat digunakan dengan mata berakomodasi maksimum untuk mendapatkan perbesaran bayangan yang diinginkan. Agar mata berakomodasi maksimum, bayangan yang terbentuk harus tepat berada di titik dekat mata (s’ = sn = jarak titik dekat mata).

Perbesaran bayangan yang dihasilkan oleh lup dengan mata berakomodasi maksimum adalah


Dimana P adalah perbesaran lup, sn adalah jarak titik dekat mata (sn = 25 cm untuk mata normal), dan f adalah jarak fokus lup.

Menggunakan lup dalam keadaan mata berakomodasi maksimum membuat mata menjadi cepat lelah. Agar mata relaks dan tidak cepat lelah, lup digunakan dalam keadaan mata tidak berakomodasi. Untuk mendapatkan perbesaran bayangan yang diinginkan dalam keadaan mata tidak berakomodasi, bayangan yang terbentuk harus berada sangat jauh di depan lensa (jarak tak hingga). dalam hal ini objek harus berada di titik fokus lensa (s = f).

Perbesaran bayangan yang dihasilkan oleh lup dengan mata tidak berakomodasi adalah

Dimana P adalah perbesaran lup, sn adalah jarak titik dekat mata (sn = 25 cm untuk mata normal), dan f adalah jarak fokus lup.



Mikroskop

Perbesaran bayangan yang dihasilkan dengan menggunakan lup yang hanya menggunakan sebuah lensa cembung kurang maksimal dan terbatas. Untuk mendapatkan perbesaran yang lebih besar diperlukan susunan alat optik yang lebih baik. Perbesaran yang lebih besar dapat diperoleh dengan membuat susunan dua buah lensa cembung. Susunan alat optik ini dinamakan mikroskop yang dapat menghasilkan perbesaran sampai lebih dari 20 kali.

Sebuah mikroskop terdiri atas dua buah lensa cembung (lensa positif). lensa yang dekat dengan objek (benda) dinamakan lensa objektif, sedangkan lensa yang dekat mata dinamakan lensa okuler. Jarak fokus lensa okuler lebih besar daripada jarak fokus lensa objektif.



mikroskop dan bagian-bagiannya


pembentukan bayangan pada mikroskop

Objek yang ingin diamati diletakkan di depan lensa objektif di antara titik Fob dan 2Fob. Bayangan yang terbentuk oleh lensa objektif adalah I1 yang berada di belakang lensa objektif dan di depan lensa okuler. Bayangan ini bersifat nyata, terbalik, dan diperbesar. Bayangan I1 akan menjadi benda bagi lensa okuler dan terletak di depan lensa okuler antara pusat optik O dan titik fokus okuler Fok. Di sini lensa okuler akan berfungsi sebagai lup dan akan terbentuk bayangan akhir I2 di depan lensa okuler. Bayangan akhir I2 yang terbentuk bersifat maya, diperbesar, dan terbalik terhadap objek semula.

Perbesaran yang dihasilkan mikroskop adalah gabungan dari perbesaran lensa objektif dan perbesaran lensa okuler. Perbesaran lensa objektif mikroskop adalah

Dimana Pob adalah perbesaran lensa objektif, s’ob adalah jarak bayangan lensa objektif dan sob adalah jarak objek di depan lensa objektif.

Adapun perbesaran lensa okuler mikroskop sama dengan perbesaran lup, yaitu sebagai berikut.


untuk mata berakomodasi maksimum


untuk mata tidak berakomodasi



Dimana Pok adalah perbesaran lensa okuler, sn adalah jarak titik dekat mata (untuk mata normal sn = 25 cm), dan fok adalah jarak fokus lensa okuler.

Perbesaran total mikroskop adalah hasil kali perbesaran lensa objektif dan perbesaran lensa okuler. Jadi,

P = Pob × Pok

Hal-hal penting yang perlu diketahui berkaitan dengan mikroskop:

(1) jarak antara lensa objektif dan lensa okuler disebut juga panjang tabung (d). panjang tabung sama dengan penjumlahan jarak bayangan yang dibentuk lensa objektif (s’ob) dengan jarak benda (bayangan pertama) ke lensa okuler (sok).

d = s’ob + sok

(2) menggunakan mikroskop dengan mata berakomodasi maksimum berarti letak bayangan akhir berada di titik dekat mata di depan lensa okuler. Jadi, dapat dituliskan

s’ok = −sn

(3) menggunakan mikroskop dengan mata tidak berakomodasi berarti jarak benda di depan lensa okuler (sok ) berada tepat di titik fokus lensa okuler (fok). Jadi, dapat dituliskan

sok = fok

Teropong Bintang

Bintang-bintang di langit yang letaknya sangat jauh tidak dapat dilihat secara langsung oleh mata. Teropong atau teleskop dapat digunakan untuk melihat bintang atau objek yang letaknya sangat jauh.

Teropong terdiri atas dua lensa cembung, sebagaimana mikroskop. Pada teropong jarak fokus lensa objektif lebih besar daripada jarak fokus lensa okuler (fob > fok). Teropong digunakan dengan mata tidak berakomodasi agar tidak cepat lelah karena teropong digunakan untuk mengamati bintang selama berjam-jam. Dengan mata tidak berakomodasi, bayangan lensa objektif harus terletak di titik fokus lensa okuler. Dengan demikian, panjang teropong (atau jarak antara kedua lensa) adalah

d = fob + fok

dimana fob adalah jarak fokus lensa objektif dan fok adalah jarak fokus lensa okuler.

Adapun perbesaran P yang dihasilkan oleh teropong adalah



















BAB  IV
Kesimpulan

Optik adalah cabang fisika yang menggambarkan kelakuan dan sifat cahaya dan interaksi cahaya dengan materi. Optik menerangkan dan diwarnai oleh gejala optik.
Bidang optik biasanya menggambarkan sifat cahaya tampak, inframerah dan ultraviolet; tetapi karena cahaya adalah gelombang elektromagnetik, gejala yang sama juga terjadi di sinar-X, gelombang mikro, gelombang radio, dan bentuk lain dari radiasi elektromagnetik.
Optika geometris atau optika sinar menjabarkan perambatan cahaya sebagai vektor yang disebut sinar. Sinar adalah sebuah abstraksi atau "instrumen" yang digunakan untuk menentukan arah perambatan cahaya. Sinar sebuah cahaya akan tegak lurus dengan muka gelombang cahaya tersebut, dan ko-linear terhadap vektor gelombang.
Bayang-bayang terjadi apabila cahaya terhalang sesuatu, maka terbentuklah bayang-bayang.